Wednesday 31 August 2011

pembantu

hiruk pikuk lebaran kembali terasa, meski aku tak mengalaminya langsung enam tahun terakhir ini karena tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya tak merayakannya. namun berkat kemajuan teknologi dan media, suasana lebaran di tanah air mudah sekali merasuk ke hati meski berjarak ribuan mil jauhnya.

yang paling klasik tentunya adalah cerita puasa, persiapan mudik, macet, lalu lengangnya ibukota di hari raya. kemudian susul menyusul cerita tentang silaturahmi bersama keluarga, ketupat opor, halal bihalal, dan yang paling ujung tentunya adalah kekhawatiran para majikan di kota apakah pembantunya akan kembali lagi tahun ini dari desa.

pembantu, sebuah kata yang terkesan simpel dan sederhana, tapi ternyata penuh makna dan dinamika. kata pembantu berasal dari kata dasar bantu. dari kamus besar bahasa indonesia atau kbbi, kata bantu sendiri mengandung arti:
1 v tolong: contoh, bantulah orang miskin
2 n penolong: contoh, guru bantu; kantor pos bantu

sedangkan kata pembantu sebagai salah satu varian dari kata bantu mengandung arti:
n 1 orang (alat dsb) yg membantu; penolong;
n 2 orang upahan, pekerjaannya (membantu);
contoh:
pembantu dekan atau wakil dekan;
pembantu editor;
pembantu khusus;
pembantu letnan dua pangkat bintara peringkat kedua dl ketentaraan,
pembantu letnan satu pangkat bintara peringkat pertama dl ketentaraan,
pembantu rektor atau wakil rektor;
pembantu tetap;
pembantu rumah tangga; mengurus pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, menyapu, dsb)

tapi kini kata pembantu sepertinya telah mengalami penyempitan makna. saat kita menyebut kata pembantu, otak kita segera mengasosiasikan dengan pembantu rumah tangga secara serta merta. sama sekali tak ada yang salah dengan pembantu. aku hanya ingin menulis dinamikanya dari sisi pandangku sendiri, yang mungkin agak beda. dan seperti biasa, tulisanku selalu tanpa data, dan hanya berdasarkan opini dan pengamatan semata.

ketersediaan lapangan pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah tangga sangat terbuka luas di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang rendah sampai sedang. selain di indonesia, pekerjaan ini tumbuh subur juga di malaysia, singapura, negara-negara timur tengah dan juga india. bedanya, malaysia, singapura dan negara timur tengah harus mengimpor atau mendatangkan tenaga kerja pembantu dari negara yang kelebihan tenaga kerja seperti indonesia dan india, karena tenaga kerja lokal tidak tersedia.



maka terjadilah aliran tenaga kerja untuk jenis pekerjaan domestik ini dari negara berkembang berpenduduk melimpah ke negara-negara yang membutuhkan. dengan situasi ini, keduanya pun diuntungkan. negara yang satu kekurangan tenaga kerja tapi mampu membayar, yang lain membutuhkan lapangan kerja dan uang bayarannya. saling ketergantungan pun terjadi.

selain aliran tenaga kerja ke luar negeri, negara berpenduduk banyak seperti india dan indonesia pun menyediakan lapangan kerja yang cukup luas di dalam negeri sendiri. bayangkan jika semua penduduk kelas menengah ke atas yang saat ini punya pembantu dan mampu membayar pembantu tiba-tiba memecat semua pembantu rumah tangganya, berapa besar lonjakan angka pengangguran akan terjadi?

sungguh keberadaan lapangan kerja pembantu ini ternyata menjadi salah satu solusi untuk menurunkan angka pengangguran dan mengurangi jumlah kemiskinan. jadi idealnya, pekerjaan ini juga bisa menjadi satu cara peningkatan kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran, jika semua masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas mempekerjaan mereka dari golongan bawah dan membagikan sebagian hartanya untuk menggaji mereka.

namun sayangnya, jumlah pendapatan dari sektor ini masih sangat minim yang kadang-kadang hanya cukup untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan, tapi masih belum cukup untuk menyejahterakan kehidupan mereka sendiri, alih-alih kehidupan seluruh keluarganya di desa.

mereka yang mengadu nasib dengan jenis pekerjaan yang sama tapi memilih pergi ke luar negeri, mungkin secara materi akan menerima lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang bekerja di dalam negeri. tapi dinamika kehidupan mereka pun masih diselimuti masalah-masalah klasik ketenagakerjaan seputar ijin kerja, penipuan oleh oknum agen, tindakan kekerasan oleh sang majikan, atau keterlibatan mereka dengan kasus kriminal lainnya. isu lapangan kerja terpecahkan, muncul isu ekonomi dan kemanusiaan.

tapi aku tak akan membahasnya di sini, karena sungguh pelik.

hidup di indonesia, mempunyai seorang atau dua orang pembantu rumah tangga untuk ukuran sebuah keluarga kelas menengah adalah hal yang sudah sangat biasa. tak ada yang istimewa. hampir semua orang melakukannya. di india pun terjadi hal serupa. keluarga kelas ekonomi menengah ke atas kini menjadi semakin tergantung dengan keberadaan pembantu untuk melakukan tugas rumah tangga sehari-hari.

bukan saja karena mereka mampu membayar gaji pembantu yang rata-rata memang masih jauh di bawah upah minimum regional dan belum distandarisasi oleh pemerintah layaknya seperti di negara-negara maju di eropa, tetapi mempunyai pembantu juga sudah menjadi sebuah tradisi dalam keluarga dan masyarakat.

beberapa generasi keluarga yang selalu berpembantu selama berpuluh-puluh tahun atau bahkan lebih, tatanan kehidupan mereka sehari-hari tidak bisa terlepas dari keberadaan sang pekerja domestik ini di rumah mereka. sejak lahir sampai sekolah, kuliah, bekerja dan akhirnya berumah tangga dan punya rumah sendiri, ketergantungan ini menjadi tak perpisahkan.

dari menggendong, memakaikan kaos kaki dan sepatu, menyiapkan baju sekolah, menyuapi makan, membersihkan tempat tidur, memasak, mencuci, menyapu, mengepel, sampai mengunci pintu rumah sebelum kembali ke tempat tidur untuk mengakhiri sebuah hari. begitu banyak tugas seorang pembantu. lalu apa tugas si majikan selain pergi ke kantor, pulang ke rumah, makan, menonton televisi dan tidur? tak ada.

akibatnya, saat sang pembantu pulang ke desa asalnya seperti yang selalu terjadi setiap satu tahun sekali di hari raya idul fitri, keluarga majikan pun kelimpungan tak keruan. karena pembantu bukan lagi hanya bertugas membantu, tapi telah mengambil alih sebagian dinamika rumah tangga. hingga ketika ia tak ada, dinamika rumah tangga pun lumpuh sebagian.

tiba-tiba begitu banyak yang harus dilakukan dengan tangan si majikan sendiri saat si pembantu pergi. pekerjaan menjadi menggunung dan sepertinya tak ada henti. siapa yang menyapu lantai, siapa yang menyetrika, siapa yang memasak nasi, siapa yang membersihkan rumah, siapa yang mengepel, siapa yang mencuci? aduh, kapan ya si pembantu kembali, keluh si majikan berkali-kali. demikian setiap tahun berulang kembali fenomena yang serupa, dari generasi ke generasi. bukan salah siapa-siapa sebenarnya, dan tak ada yang perlu dibenahi, karena pola kehidupan seperti ini sudah menjadi tradisi.

mereka yang berduit lebih biasanya menyiasati ini dengan menginap di hotel selama pembantu mereka belum kembali dari desa. karena tinggal di hotel semua juga serba dilayani, dan tak perlu melakukan pekerjaan domestik sehari-hari. sedangkan bagi mereka masyarakat kelas menengah yang pembantunya sedang pulang kampung tapi masih berpikir dua kali untuk tinggal di hotel sekeluarga, lebih memilih melakukan pekerjaan rumah tangga, tentunya dengan sangat terpaksa, dan tak jarang sambil ngomel-ngomel sendiri.

beruntunglah mereka para keluarga yang meskipun ketika pembantunya tak ada, tetap tangkas dan sigap melakukan tugas-tugas pekerjaan rumah tangga. lebih beruntung lagi mereka yang tak pernah punya pembantu rumah tangga, jadi tak pernah mengalami fenomena kekhawatiran tahunan setiap kali lebaran tiba.

tatanan rumah tangga masyarakat kota rata-rata memang sudah seperti itu sejak lama. sejak si majikan masih bayi dan tinggal di rumah orang tua, jenis pekerjaan sudah demikian terkotak-kotak, apa-apa yang harus dilakukan si pembantu sehari-hari. tak heran jika kadang-kadang aku melihat seorang dewasa yang tak tahu bagaimana mencuci pakaiannya sendiri atau menyeterika, saat mereka merantau jauh dari rumahnya. karena mencuci dan menyeterika adalah tugas si pembantu sejak ia balita, dan ia tak pernah melakukannya.

sungguh sayang sebenarnya jika keberadaan seorang pembantu yang seharusnya hanya bertugas membantu si majikan, ternyata justru menguasai seluruh tugas-tugas kerumahtanggaan dan mengakibatkan satu atau lebih generasi kehilangan kemandirian dan menyuburkan ketergantungan. tak heran jika mereka yang bersekolah di luar negeri ingin segera kembali karena iming-iming kenyamanan dan ketergantungan ini.

di luar negeri terutama di negara-negara maju seperti negara-negara di eropa, pekerjaan pembantu sebenarnya juga ada. bedanya, upah mereka sudah diatur oleh negara dan memenuhi standar gaji minimum yang telah ditentukan. tenaga kerja di negara maju sangat dihargai sehingga pekerjaan pembantu atau maid ini menjadi sangat mahal upahnya, yang keluarga berkelas ekonomi menengah ke bawah takkan mampu membayarnya.

akibatnya rata-rata rumah tangga di eropa tidak berpembantu dan mau tak mau menjadikan mereka ringan tangan, bekerja sendiri dan mandiri. meski jika kemudian akhirnya mereka hidup berkecukupan dan kaya, kemandirian ini menyebabkan mereka tetap tidak membutuhkan seorang pembantu. selain itu alasan lainnya adalah masyarakat negara maju lebih memilih privasi, yang tentunya tidak akan utuh terjaga jika ada seorang pembantu yang bukan bagian dari keluarga ikut hidup di tengah-tengah mereka.

tak dipungkiri kini banyak pembantu yang sudah menjadi bagian dari keluarga si majikan sendiri. demikian dekatnya hubungan kerja sama antara majikan dengan pembantu ini, hingga terkadang ikatan emosional dan hati menjadi tak terhindari. namun banyak juga yang bermasalah dengan kehidupan pribadi karena si pembantu tak mampu menyimpan kisah rumah tangga yang setiap hari didengar dan dilihat dengan kedua matanya.

ujung-ujungnya terjadilah konflik dan perpecahan kongsi hubungan kerja. tak jarang pula rahasia-rahasia dan informasi pribadi keluarga yang semestinya tak perlu diketahui tetangga atau masyarakat umum menjadi tersedia berkat adanya si pembantu dalam sebuah rumah tangga. karena walau bagaimana, pembantu bukanlah bagian dari keluarga dan tetap menjadi orang asing yang bekerja dan digaji setiap bulannya.

di negara-negara maju, kebanyakan hanya kalangan konglomerat dan kaum bangsawan saja yang mempunyai pembantu, meski mereka menyebutnya dengan nama yang lebih bermakna positif, yaitu staf. para staf ini biasanya juga tidak tinggal di rumah utama si majikan, tetapi ada rumah tersendiri yang biasa disebut annex, yang terpisah dari rumah utama dan dilengkapi dengan peralatan rumah tangga komplit layaknya sebuah rumah pribadi. karena itulah keberadaan pembantu menjadi hal yang sangat mewah di negara maju.

dan orang biasa takkan mampu memiliki kemewahan itu. lagipula dengan tersedianya bermacam alat-alat elektronik moderen untuk membantu pekerjaan rumah tangga seperti mesin cuci baju, mesin cuci piring, penyedot debu dan lain-lain, pekerjaan sehari-hari di rumah tak lagi membutuhkan banyak tenaga. selain itu, di negara maju, tenaga kerja untuk sektor domestik juga tidak tersedia. kaum miskinnya diberikan tunjangan hidup oleh negara setiap bulannya.

lalu apa jadinya jika satu saat nanti tingkat perekonomian negara berkembang seperti indonesia dan india semakin membaik, hingga upah seorang pembantu menjadi semakin tinggi?

mungkin nanti hanya kalangan masyarakat yang benar-benar kaya saja yang mampu membayar gaji seorang pembantu, tidak seperti sekarang ini. tapi entah kapan itu akan terjadi, mungkin harus melewati beberapa puluh generasi. jadi beruntunglah mereka yang saat ini hidup di negara berkembang dengan tenaga kerja melimpah dan murah, semua serba terjangkau, meski tak lagi mandiri dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga sendiri, karena selalu ada yang siap melayani.

aku sendiri tumbuh besar tanpa pernah punya pembantu karena orang tuaku tak cukup mampu. sejak sd aku sudah diwajibkan mencuci pakaianku sendiri, selain tugas rumah tangga lainnya yang harus kulakukan bergantian dengan kakak dan adik-adikku. menyapu, mengepel, mencuci, menyeterika, sampai akhirnya aku menjadi terlatih untuk melakukan segala sesuatu sendiri. satu pelajaran berarti, keterbatasan ekonomi dan keterpaksaan ternyata mampu menjadikan kita untuk terampil dan mandiri. hingga hidup di negara maju yang mengharuskan kita untuk melakukan apa-apa oleh kita sendiri, tidak menjadi masalah yang berarti.

aku bahkan merasa beruntung karena lahir dan dibesarkan tanpa keterlibatan seorang pembantu. aku juga merasa beruntung karena kondisi ekonomi keluargaku justru melatihku untuk bekerja dan bekerja sendiri tanpa tergantung pada siapa-siapa. mungkin aku juga takkan pernah punya pembantu jika aku kembali ke indonesia satu hari nanti. karena bagiku privasi di dalam keluarga jauh lebih berharga meski harus melakukan segala sesuatunya sendiri. lagipula aku sudah terbiasa, sudah sangat terbiasa untuk mandiri.

2 comments:

  1. Good post, Rin. Orang di indonesia sering bilang oh hidup di luar negeri enak ya? Trus setelah merasakan tinggal di luar negeri nggak betah karena kangen dimanjakan fasilitas pembantu. Kalau aku justru setelah tinggal di luar negeri jd merasa omg pembantu di indonesia itu nggak digaji seimbang dengan pelayanannya! Banyak org yg justru sering mengeluh pembantunya malas, suka nyuri2 pakai telpon, dll, tp dengan gaji segitu, dan di lingkungan yg dia nggak kenal siapa2, secara manusiawi pasti bosan, sanggupkah si majikan kalau dia yg jd pembantu?

    Sebetulnya di Indonesia juga kan ada undang2 yg mengatur "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara." aku jadi tergelitik untuk bertanya: secara politik, definisi fakir miskin itu apa? Kalau seorang yg harus bersusah payah menjadi pembantu (dengan upah minimal), apa itu tidak termasuk golongan miskin? Kalau nggak, kenapa nggak, dan kenapa nggak dipelihara oleh negara? Kalau ya, bisa jadi separo lebih penduduk indonesia masuk golongan miskin. Mesti berapa jumlah anggaran untuk ini?

    Comes the next question: apa definisi politik "negara memelihara"? Apa tindak praktisnya? Kalau di negara maju kan seperti kamu bilang hidupnya disokong penerintah. Di indonesia jelas nggak ada hal semacam itu. Lalu kalau bukan dlm bentuk uang, lantas dlm bentuk apa? Misalnya anak jalanan. Fakta bahwa sebagian besar dari mereka tetap memilih hidup di jalan membuktikan bahwa negara tidak benar2 "memelihara". Atau cara memelihara yang salah?

    ReplyDelete
  2. IMHO "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara" nyatanya, pemerintah masih terseok-seok dan terpincang-pincang untuk melaksanakan amanat UUD 45 pasal ini. budget tidak ada (atau sengaja ditiadakan). salah satu sebab, pendapatan negara belum maksimal, banyak pengemplang pajak! koruptor marking up budget di mana2! maling berdasi menggurita di tubuh negara! korbannya? rakyat!!! korbannya? pasal di atas terabaikan!!! negara kita masih jauh dari ideal, "keadilan sosial bagi SELURUH rakyat Indonesia" masih mimpi. padahal kita kaya, tapi manusianya rakus semua, dan sistemnya masih banyak yg bobrok. sungguh sayang...*untuk bahan renungan ini jeng, nanti kalau sudah ngumpul, aku tulis ya :-p makasih dah mampir*

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...