Thursday 18 August 2011

andrea hirata 2

seperti dulu pernah kujanjikan, kali ini aku akan menceritakan kisah perjalananku ke sebuah desa bernama edensor yang menjadi tema utama buku ketiga andrea hirata. meskipun agak terlambat menuliskan laporan ini, tapi kata orang bijak, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

satu akhir pekan di awal bulan mei yang lalu, aku dan suami sengaja membuat rencana untuk menghabiskan libur panjang kami di edensor. kebetulan di inggris setiap awal mei hari seninnya adalah hari libur nasional. kami memesan kamar di sebuah penginapan tak jauh dari desa tersebut. peta, arah ke sana, apa saja yang ingin kami kunjungi dan kami lihat, sudah kami siapkan sebelumnya dengan mempelajari sebanyak mungkin informasi yang tersedia di internet. kami sudah sangat terbiasa dengan hal-hal semacam ini karena memang kami berdua hobi bepergian, selain suami juga sering ditugaskan untuk keliling ke berbagai tempat di belahan dunia oleh kantornya.

setelah semua siap, mobil kamipun meluncur membelah udara di sabtu pagi yang cerah. perjalanan dari cambridge ke edensor tidak memakan waktu terlalu lama. hanya sekitar dua setengah jam kemudian, pemandangan jalan tol yang membosankan mulai berganti dengan hamparan padang rumput hijau muda menyambut musim semi, tak lama setelah kami keluar dari tol dan mobil kami mulai menyusuri punggung-punggung bukit kawasan derbyshire. elok nian warna-warni sekitar bagai permadani hijau menyelimuti permukaan bukit-bukit yang menjulang tak begitu tinggi, dihiasi titik-titik putih di kejauhan yang tak lain adalah domba-domba derbyshire yang sedang sibuk asyik merumput.

tak salah apa yang digambarkan si andrea di dalam bukunya. kawasan ini memang sangat mempesona. suamiku selalu memegang kemudi jika kami bepergian bersama, sehingga aku bisa dengan leluasa mengedarkan pandanganku ke bukit-bukit hijau itu. kadang-kadang kami bergantian menyetir, tapi hanya jika kami harus menempuh perjalanan yang agak jauh, yang seringkali cukup melelahkan hanya dengan satu pengemudi saja.

atau aku memilih menjadi pengemudi jika aku terlalu bosan duduk di kursi penumpang dan lebih sering tertidur jika lewat tol dengan pemandangan yang kurang menyegarkan mata. tapi kali ini aku merasa nyaman sebagai penumpang, jadi kubiarkan suamiku menikmati kemudi dan aku bisa puas hati menikmati karpet raksasa yang membentang bagai permadani ini.

sampailah akhirnya kami ke alamat penginapan kami. pemilik penginapan menyambut kami di pintu depan ditemani seekor kucing gendut berbulu kecoklatan yang sangat ramah dan lucu. mudah ditebak, akupun jadi sibuk bermain dengan si kucing di sela-sela percakapan dengan tuan rumahnya. setelah membongkar koper kecil kami berisi pakaian untuk satu kali ganti saja karena kami hanya akan tinggal selama dua hari, kamipun pamit keluar untuk mengunjungi tujuan pertama kami, yaitu chatworth house, yang letaknya persis di depan desa edensor.

konon, menurut sejarah yang kubaca di selebaran atau brosur gratis yang dibagikan di chatworth setelah kami membeli tiket masuk, pemilik chatworth house inilah yang dulu mendirikan sebuah desa baru dengan membangun seluruh pemukiman persis di seberang bukit di mana chatworth house ini berada, dan desa itu diberi nama edensor.

di desa inilah dulunya tinggal para pekerja kebun, tukang asuh kuda dan pelayan rumah tangga untuk para bangsawan yang tinggal di chatworth. mereka disediakan tempat tinggal di edensor tentunya supaya siap kapan saja saat dibutuhkan majikannya karena cuma berjarak kira-kira limaratus meter saja.

kunjungan kami ke chatworth house sangatlah berkesan. seperti umumnya rumah-rumah para bangsawan inggris jaman dulu lainnya, chatworth house sangat besar ukurannya, sangat luas kebun dan halamannya, megah bangunannya dan mengagumkan dengan koleksi-koleksi perabotan dan lukisan serta peninggalan orisinil barang-barang pribadi milik si empunya rumah dari jaman dahulu sampai sekarang. tapi yang lebih membuat terpana adalah di bagian belakang rumah raksana ini terdapat halaman yang sangat luas berhiaskan air terjun yang desainnya sungguh unik.

air terjun buatan ini dibangun di punggung bukit, di mana air dipompa dari danau yang terletak tak jauh dari rumah megah ini, lalu dialirkan ke kolam di atas bukit di mana keunikan air terjun ini dimulai. dari kolam ini, air melimpah dan mengalir menuruni punggung bukit mengikuti hukum grafitasi bumi melewati sungai berundak yang terbuat dari semen atau beton menyerupai tangga bersusun.

tinggi air hanya sebatas mata kaki sehingga para pengunjung terutama anak-anak bisa bermain berbasah-basahan menikmati kesegaran dan dinginnya air luapan kolam tadi. air terjun berundak ini pastilah memberikan pemandangan yang luar biasa bagi penghuni chatworth house di masa lalu, yang sekarang bisa dinikmati oleh masyarakat umum yang berkunjung ke sini.

sejauh mata melihat, pemandangan dari atas bukit di mana kolam tadi berada, sangat menyegarkan mata. hijau, segar dan bersih. dari atas bukit ini pula, di balik gundukan bukit kecil di seberang sana, puncak gereja st peter di desa edensor menjadi ikon yang tak tertandingi indahnya.

andreapun tak lupa menyelipkan satu foto hitam putih di bukunya yang persis menggambarkan pemandangan ini. dan tak lupa, titik-titik putih di kejauhan yang kulihat dari balik kaca jendela mobil dalam perjalanan tadi, kini menjelma menjadi domba-domba sehat dan riang yang ramah kepada para pengunjung dan tak merasa terusik dengan kehadiran kami. anak-anak domba bermain, melompat dan mengembik menirukan suara ibunya, yang lain tidur bermalas-malasan di bawah naungan pohon yang rindang yang tersebar di antara hamparan rumput yang selalu hijau di musim semi ini.

menjelang sore, dengan iring-iringan mobil pengunjung yang tak juga surut karena akhir pekan panjang ini, kamipun meninggalkan chatworth dan memindahkan mobil kami dari parkiran ke pinggir jalan tempat para jemaah gereja memarkir mobil mereka.

kamipun lalu melangkahkan kaki ke desa edensor yang sepenglihatan mata, tak seberapa besar luasnya. yang cukup unik dari desa ini dan tak pernah kutemui di desa-desa lainnya di inggris raya, adalah adanya pintu gerbang untuk memasuki kawasan desa. meski pintunya selalu terbuka dan tak ada kuncinya, gerbang ini membuat kita merasa memasuki sebuah kawasan tertutup yang tak boleh dimasuki tanpa seijin penghuninya.

kenyataannya, pintu ini ternyata didesain untuk menghentikan hewan peliharaan seperti domba dan sapi agar tidak memasuki kawasan pemukiman. untuk masuk ke desa, kita harus melewati sebuah kisi-kisi dari besi yang sepintas mirip jeruji penjara, tapi lebih besar dan berukuran kurang lebih empat kali lima meter persegi. jeruji ini diletakkan di tanah yang sudah digali tak terlalu dalam, dan akan menghentikan langkah hewan-hewan yang mencoba memasuki kawasan desa, karena kaki mereka akan terperangkap.

biasanya hewan-hewan ini akan mundur dan melenggang pergi saat mendapati bahwa mereka tak mungkin melewati si kisi-kisi. di beberapa kawasan pedesaan inggris, jeruji semacam ini banyak ditemui di jalan-jalan menuju peternakan, namun baru kali ini digunakan untuk mengisolasi sebuah desa.

mejeng di edensor

melangkahkan kaki memasuki edensor, kesan yang pertama kali kurasakan adalah rasa damai, teduh dan tenang. gereja st peter seolah mengucapkan selamat datang dengan menaranya yang runcing menjulang tinggi, tampak gagah berdiri di depan pintu desa, meski terlihat lelah karena usia. beberapa rumah warga yang kini penghuninya bukan lagi pelayan para bangsawan chatworth, terlihat sepi.

namun rumah-rumah kecil ini tertata rapi, bersih meski bangunannya sudah sangat tua. arsitekturnya mirip-mirip dengan rumah si pemilik ide, yang tak lain adalah bangsawan yang tinggal di chatworth tempo dulu.

sekilas aku merasa seperti sedang berada di negeri dongeng, melihat bangunan-bangunan mungil yang terbuat dari batu alam, dengan menara kecil di sudut rumah dan bingkai jendela yang menyerupai rumah-rumah di buku-buku cerita. tak ada rumah baru di sini, mungkin karena memang desa ini dilindungi keasliannya. halaman rumput di depan setiap rumah terpelihara rapi dengan tampilan bunga yang mekar berwarna-warni. beberapa ditumbuhi pula oleh berbagai macam tanaman buah khas negeri ini.

makin jauh masuk ke dalam desa, jalanan semakin menanjak perlahan seperti menaiki punggung sebuah bukit kecil. tak berapa lama, tiba-tiba kami sudah berada di ujung edensor. memang hanya sebuah desa kecil mungil tapi unik, indah, dan sangat berkesan.

ini pula yang mungkin membuat si andrea terpacu semangatnya untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya untuk datang dan melihat keindahan ini dengan mata kepalanya sendiri. motivasi yang mulai tumbuh dan ia pelihara ketika ia membaca mengenai keindahan edensor dan kawasan sekelilingnya di sebuah buku karya pengarang inggris terkenal james herriot yang mengisahkan suka dukanya sebagai seorang dokter hewan di masa lalu yang berlatar belakang kehidupan peternak dan petani di kawasan perbukitan derbyshire ini.

keesokan harinya sebelum kami meninggalkan kawasan derby, kamipun kembali lagi ke edensor namun kali ini hanya duduk di atas bukit di seberang desa, sambil menikmati keindahannya dari jauh berteman rusa-rusa jinak yang merumput di sekeliling kami.

...dan sungguh! indah nian rasanya hidup ini...

nb: edensor oleh penduduk setempat dilafalkan sebagai en (seperti kata end) - se (seperti kata sir).

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...