Monday, 21 May 2012

pocahontas

sudah pada nonton film animasi pocahontas? pasti sudah ya. film lama sih, tapi aku malah baru nonton dua hari yang lalu, di dalam pesawat. dasarnya suka film tapi malas ke bioskop (malas bayar maksudnya, hehe), jadi aku jarang nonton film di bioskop. paling kalau harry potter terbaru keluar saja, baru aku rela bayar #dasar irit mah irit aja hihi

karena malas bayar bioskop itulah, maka tiap kali terbang aku selalu rajin melototin layar kecil di depanku untuk nonton film sebanyak-banyaknya. mumpung gratis kan #dih segitunya...malu-maluin tau! #cuek ajah

kebetulan aku langganan maskapai emirates airways, salah satu perusahaan penerbangan milik sebuah negeri timur tengah yang selalu transit di kota modern nan indah, dubai, untuk hampir semua penerbangannya. salah satu alasanku untuk setia pada satu perusahaan penerbangan saja adalah karena keuntungan mengumpulkan poin terbang yang bisa diklaim balik untuk menikmati berbagai kemudahan dan layanan ekstra, bahkan sampai paket berlibur dan lain sebagainya dengan menukarkan sejumlah poin yang sudah terkumpul setiap kali kita terbang. semakin jauh jarak terbang, semakin banyak poinnya.

kenapa emirates? karena dari pengalaman terbang dengan beberapa maskapai lainnya (ga begitu banyak juga sih sebenarnya), hanya maskapai inilah yang pelayanannya lumayan bagus dengan harga tiketnya cukup terjangkau. kalau layanan bagus tapi harga tiketnya memang jauh lebih mahal mah, sama juga bohong kan hehe. yang dicari sih yang bagus tapi murah gitu lhohhhh....prinsip ekonomiiii...hihi :-p

alasan penting lainnya, karena emirates menyediakan layanan hiburan atau entertainment di tiap kursi dengan menyediakan satu layar monitor per satu penumpang, yang menurutku sih cukup bagus dan sangat menghibur selama penerbangan yang biasanya bikin bete dan bosan. maskapai lain mungkin juga sama sih, tapi mungkin aku belum pernah nyoba saja, jadi ga perlu dipromosiin di sini ya. meski pernah juga aku naik pesawat jarak jauh (jarak dekat boro-boro ada hiburan ;-p), yang layarnya cuma satu di paling depan seperti kalau naik bis malam di indonesia. mana enak nonton film yang sama rame-rame, mana suaranya ga kedengeran, hehe #ini mau terbang apa mau nonton film sih ya sebenernya hihi

di emirates, begitu banyak pilihan hiburan yang bebas kita pilih, mulai dari musik, video, berita, film, dengan pilihan yang cukup bervariasi, termasuk tersedianya pilihan untuk menonton film-film terbaru sebanyak 100 judul. #eh, kenapa jadi promosi emirates gini ya, dibayar juga kagak padahal, halah #moga-moga si pety ga protes lagi seperti kasus pepsodent dulu, hihi

jadi gitu deh, tiap kali terbang, aku selalu menghabiskan waktu dengan menonton minimal 2 sampai 3 film sekali jalan. meski tiap kali terbang balik dari indonesia aku lebih banyak tertidurnya karena kecapean setelah libur panjang di indonesia, tapi dalam penerbangan ke sananya di awal liburan biasanya karena semangatnya, aku tak bisa tidur dan siap melahap 2-3 judul film sekaligus. setelah transit, aku masih bisa menonton 2 lagi sebelum akhirnya mendarat di jakarta.

nah, kemarin pas pulang kampung, ceritanya aku sudah nonton semua film yang kuminati ketika terbang ke arah jakarta. pas terbang balik ke UK, seperti biasa aku sudah bosan dengan film dan memilih untuk istirahat saja. tapi kepulangan kemarin agak beda. seperti sudah aku ceritakan di artikel berjudul 'pulang kampung' terdahulu, kami berniat untuk up-grade tiket ekonomi kami ke kelas bisnis. dari uk ke jakarta, sayangnya tidak ada bangku kosong tersedia. tapi baliknya ke UK pas kebetulan check-in di soetta, ada tempat kosong di kelas bisnis, jadi kami pun bisa pindah ke bangku bisnis tanpa kendala. #cuhuiiii #norak mode on

karena ini adalah kali kedua aku mendapat tempat duduk di kelas bisnis (yang pertama waktu terbang dari dubai ke india beberapa bulan yang lalu), aku tak begitu norak-norak lagi sih, meski masih dikit-dikit dan sempat foto-foto dulu sebelum penumpang ekonomi diijinkan masuk dan melewati kabin kita dengan pandangan mata iri dengki dan sebal seperti kalau aku harus duduk di ekonomi tapi kudu lewat kabin bisnis. bikin ngiler doank! #hehe

tapi duduk nyaman di kelas bisnis dengan segala kemewahan yang ditawarkan malah membuatku tak bisa tidur seperti yang biasa kulakukan dalam  perjalanan pulang dari berlibur. iseng-iseng akupun mencari-cari film yang bisa kutonton. karena film baru semacam MI-ghost protocol sudah kutonton dalam perjalanan menuju jakarta, maka aku mencari-cari film lama saja. pocahontas-pun menarik perhatianku. selain karena itu adalah film animasi hingga aku tak perlu susah payah berpikir serius untuk mengetahui jalan ceritanya, juga karena aku belum pernah nonton (ternyata) :-p #parah

ceritanya sih standar ya. namanya juga film untuk anak-anak dan remaja. yang membuatku tergelitik untuk menulis sebuah artikel khusus di blog ini, adalah yang terjadi kemudian setelah aku nonton pocahontas, dan diskusi dengan suamiku mengenai negeriku yang baru saja kami kunjungi, indonesia, serta jalinan hubungan kami berdua #heh apa hubungannya?

dulu sewaktu untuk pertama kalinya aku mengajak suami ke indonesia tahun 2009, ia sempat terkena 'culture shock' atau kalau diterjemahkan mungkin kira-kira artinya kejutan budaya(?). intinya, seseorang yang tidak atau belum pernah mengalami sesuatu di tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya akan merasa jengah, terkejut, bingung, khawatir, tolol dan perasaan-perasaan aneh lain yang akan membuat orang itu menjadi merasa tidak nyaman dan tidak betah.

contoh nyata sih banyak dialami oleh mahasiswa-mahasiswi asli indonesia yang belum pernah atau jarang ke luar negeri, dan lalu harus hidup atau melanjutkan sekolah di benua eropa misalnya. perbedaan budaya, gaya hidup, norma umum, adat istiadat, aturan lokal dan bahasa, terkadang mampu membuat seseorang terbengong-bengong dan melompong bego untuk beberapa saat sebelum akhirnya secara pelan mulai berusaha untuk beradaptasi dengan cara hidup yang baru di sekelilingnya.

akupun sempat mengalami hal ini ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di budapest tahun 2005 yang lalu. apalagi akhirnya ketahuan kalau kota ini termasuk salah satu kota paling romantis di eropa (melebihi paris), yang mana kita dengan mudahnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri pasangan-pasangan muda yang berciuman dengan mesra dan lama serta cukup intens, di tempat-tempat umum dan terbuka. pertama kali melihat ini, akupun melongo dan menatap sepasang remaja itu dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya tersadar dan merasa malu sendiri, meski sekelilingku seakan tak ada yang peduli dan menganggapnya hal yang lumrah dan sangat biasa.

butuh kira-kira 3 bulanan tinggal di budapest, baru aku bisa mengontrol mataku untuk tidak terlalu tertarik lagi mengamati sejoli-sejoli yang sedang dimabuk asmara ini tengah berasyik masyuk di depan mata kita. setelah setahun tinggal di sana, akhirnya akupun bisa menerima dan menjadi tidak peduli jika melihat pemandangan yang tadinya cukup aneh di mataku itu. seperti itulah salah satu contoh 'culture shock'.

lain di budapest, lain pula di jakarta.

'culture shock' yang dialami suamiku di tahun 2009, lebih ke gaya hidup masyarakat indonesia pada umumnya, kemacetan, suhu udara, hiruk pikuk manusia dan keramaian ibukota yang sepertinya tak pernah tidur. untungnya waktu itu ia tinggal di hotel yang sepertinya sedikit banyak bisa meredam kekontrasan gaya hidup masyarakat indonesia dibanding dengan masyarakat eropa yang selama ini lebih familiar baginya. tiap kali pusing dengan kesemrawutan di luar, ia masuk saja ke hotel untuk bisa menikmati lagi gaya hidup eropanya yang tenang, teratur dan adem-ayem (ada AC maksudnya :-p).

tapi kunjungan kali ini, aku paksakan untuk mendorongnya lebih jauh agar lebih mengenal budaya negeriku karena kini aku sah menjadi istrinya. maka aku ajak suami untuk tinggal di rumah kakakku agar ia bisa merasakan sendiri hidup di tengah-tengah sebuah keluarga indonesia asli #supaya irit juga ga bayar hotel, mahal tauk!.. :-p

kebetulan rumah kakakku terletak di tengah-tengah perkampungan yang lumayan padat, dikelilingi segala macam kondisi ekonomi penghuni rumah-rumah di sekitar tempat tinggal kakakku. karena memang bukan perumahan, penghuni kampung pun beragam. ada yang miskin, ada yang kaya. ada orang betawi asli juragan kontrakan, ada pegawai negeri, ada rumah pensiunan, ada rumah para pemulung, ada para pengontrak abadi (kontrak terus karena ga sanggup beli rumah sendiri), ada tukang jualan makanan. tapi ada juga sebuah rumah baru yang dibangun megah bertingkat-tingkat di gang depan rumah kakak, yang katanya adalah rumah seorang jaksa. campur aduk pokoknya.

kesemrawutan layout di kampung ini masih tak seberapa dibandingkan kesemrawutan denyut nadi penghuninya sehari-hari. segala aktivitas berjalan terus menerus tanpa henti. sepeda motor menderu-deru siang malam apalagi yang knalpotnya diganti supaya bisa nyaring itu (budeg-budeg dah!), anak-anak kalau ga menangis, atau berantem, ya teriak-teriak kesenangan, ibu-ibu ngerumpi di sudut-sudut gang, penjual makanan lalu lalang menawarkan jenis makanan yang berbeda-beda, tukang sampah lewat, tukang jualan mainan, you name it! super komplit pokoknya.

walhasil, suamiku terkena 'culture shock' yang kedua, kali ini lebih parah :-p

menurut pengakuannya sih, bukan semata-mata soal kebisingan atau kesemrawutan gaya hidup orang-orangnya saja, tapi lebih ke dalamnya jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin yang tampak nyata di depan mata, tapi seolah-olah tak ada yang melihatnya, alih-alih peduli untuk berbuat sesuatu. ia tak sanggup melihat peminta-minta atau pemulung di pinggir jalan ketika aku ajak ke pasar tradisional dan melewati terminal angkot yang kumuh.

atau ketika berjalan melewati rel kereta api tanpa pagar pengaman, dan melihat penumpang kereta berjejal-jejal seperti ikan sarden di gerbong yang tak ber-AC bahkan sampai naik ke atap (lihat yang ini di gambir sih), dan di saat yang berlainan mendapati begitu banyaknya sedan-sedan dan 4X4 mewah berkeliaran di jalan-jalan protokol di jakarta, beberapa bermerek porsche, volvo, audi dan bmw, sementara sekitar 3 meter di sebelahnya seorang ibu tua berjalan tertatih menggendong gembolan dengan muka kuyu terlihat letih, lapar dan kurang makan.

akhirnya suamiku pun berkata, bahwa ia takkan pernah bisa tinggal di tempat seperti ini, dikelilingi pemandangan yang menyayat hati dan orang-orang yang seolah sudah tak peka dan tak bisa merasa adanya perbedaan lagi.

lalu seperti biasa, dengan susah payah aku berusaha menjelaskan panjang lebar (sekali lagi). sejak pertama kali bertemu tahun 2008 dulu, aku memang selalu bercerita mengenai seperti apa kondisi negeriku. kami memang bertemu di inggris, jadi pengetahuan suamiku tentang indonesia hampir nol besar waktu kami berkenalan.

tentu saja kujelaskan yang baik-baiknya dulu, keindahan alamnya, kondisi geografisnya. kujelaskan pula penduduknya, adat istiadatnya, gaya hidupnya, dan kebobrokan sistem pemerintahannya, serta tingkat kemiskinan dan jurang perbedaan dengan para elit kayanya dengan kaum miskinnya.

dulu seringnya sih ia manggut-manggut saja. tetapi mengalami sendiri dengan hidup di tengah-tengah masyarakat yang selama ini hanya didengarnya lewat ceritaku saja, ternyata tak semudah yang ia perkirakan. jika pemerintah saja tak banyak berbuat apa-apa untuk mempersempit jurang perbedaan itu, apa yang bisa dilakukan oleh seorang pengunjung yang hanya datang untuk berlibur?

kasian juga sih. aku jadi kadang merasa bersalah karena telah menempatkannya pada posisi di mana ia belum tentu siap menerima beda budaya dan gaya hidup negeriku dibandingkan dengan negeri asalnya, tapi terpaksa mengalaminya hanya karena aku adalah istrinya #edisi curcol ini yah

kalau aku bisa dengan mudah beradaptasi dan terbangun dari 'culture shock' gaya hidup eropa di budapest waktu itu karena aku punya cukup waktu dan tinggal lebih lama di sana, suamiku tak pernah berkesempatan untuk tinggal lebih lama dari 2-3 minggu ketika berkunjung ke indonesia. dan terlebih lagi, bagiku yang berasal dari negara berkembang cenderung lebih mudah beradaptasi di dunia yang lebih maju peradabannya, dibandingkan dengan mereka dari negara maju untuk beradaptasi di negara berkembang.

dari apa yang ia utarakan kepadaku, sepertinya memang ia takkan pernah bisa beradaptasi dan menerima kondisi ketimpangan sosial di indonesia dengan mudah. karena ia takkan pernah bisa menutup mata dan telinga, menjadi mati rasa tak peduli dengan kondisi sekitar seperti halnya pemilik porsche mewah yang kami lihat waktu itu. mungkin memang perlu menjadi raja tega bagi orang-orang yang berduit banyak untuk bisa hidup nyaman di indonesia dengan menutup mata rapat-rapat, katanya. dan ia yakin ia takkan pernah bisa.

seperti halnya lelaki inggris bernama john smith di film pocahontas yang akhirnya memilih untuk kembali ke negerinya yang lebih maju dan beradab, karena jika ia tinggal di hutan tempat si pocahontas (perempuan suku indian yang ia cintai dan jatuh hati kepadanya) berasal, ia akan mati tak tertolong karena keterbatasan pelayanan pengobatan dan gaya hidup suku indian yang masih terbilang primitif. sementara si pocahontas sendiri pun menyadari jarak perbedaan gaya hidup sukunya, dirinya dan gaya hidup pria pujaannya john smith, dan memutuskan untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya, meski john sudah berusaha mengajaknya untuk berlayar ke inggris.

justru dari film animasi anak-anak yang kutonton di pesawat dalam perjalanan pulang ini aku belajar bahwa terkadang, tak selamanya orang dari peradaban maju merasa lebih mudah beradaptasi di negara yang masih berkembang dan sebaliknya. mereka-mereka yang berhasil beradaptasi mungkin memang dilahirkan untuk berbaur dan hidup bersama dengan masyarakat yang berbeda gaya hidup dengan dirinya di negeri asalnya.

suamiku yang tak bisa menerima dengan mudah untuk tinggal di indonesia meski hanya 2 minggu (tapi baginya sungguh berat), pastinya berbeda dengan para ekspatriat yang bisa dengan nyaman tinggal di indonesia. sebaliknya, aku yang bisa beradaptasi dan merasa nyaman tinggal di eropa pastinya berbeda dengan mereka yang tak betah tinggal di benua biru ini, entah karena iklimnya, budayanya, atau fakta bahwa tinggal di eropa memang membutuhkan tingkat kemandirian yang tinggi (lihat postingan lama berjudul 'pembantu'), hingga beberapa lebih memilih kembali ke indonesia dengan segala hiruk pikuk dan dinamikanya.

jika sikap suamiku tercermin jelas pada karakter si john smith, ternyata aku bukanlah si pocahontas. tapi mungkin justru karena itulah kami berjodoh meski jangan harap kami bisa tinggal dan menetap di indonesia sebagai sebuah keluarga. saat ini kami nyaman tinggal di eropa dan akan tetap seperti itu, mungkin untuk waktu yang cukup lama :-)




.:kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga:.

7 comments:

  1. wah, namaku disebut *halaah*
    ya ampyun, ini cerita Pocahontas, tapi pembukannya 10 paragraf sendiri, haha *kalo gak gini, jangan panggil "mbak Nay", haha*
    ya begitulah Indonesia mbak. we born here, we learn here, we grow here... masalah tempat tinggal nantinya setelah menikah, itu pilihan.

    walau banyak juga yang bilang "emang nggak pengen mbangun negara sendiri?" --> jawabnya gimana tuh mbak --> in case ada anak dosenku (dan bayak org Indo lain) yg sekarang juga milih tinggal di luar :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wekekeke... jadi judulnya harusnya jangan pocahontas gituh yah... err... musti ganti judul kaeknya biar pety ga protes LOL.. soal "mbangun negara sendiri" sudah pernah dibahas di sini http://www.nayarini.com/2011/08/tki.html (enak deh kalo njawab pertanyaan cuma dengan lunk URL) hahahahaha

      Delete
  2. Culture shock kalo tak salah waktu itu aku baca diterjemahkan menjadi "gegar budaya".

    Yah... apa mau dikata? Inilah Indonesia. Dan makin lama aku sudah tak tahan tinggal di sini. ingin pindah ke luar negeri saja rasanya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. kok ga tahan tinggal disini... kasihan... coba temukan sisi baiknya... negara ini paling enak buat tempat tinggal loh... coba deh...

      Delete
    2. woghhh... gegar budaya yah Kim? err.. kenapa malah keinget gegar otak yah LOL... wahhh aku nulis ini bukan buat manas2in supaya dikau jadi ga betah lhoh... bisa dihajar massa nanti, gara2 aku Kimi jadi ga betah lagi, hiks :-p

      Delete
    3. eh, mas applausr ngomong ma sapa mas? hihi... ama Kimi atau aku? kan kami emang orang indonesia :-D kalo ngomong sama suamiku, ya ga segampang itu juga mas, kan pekerjaan, rumah, keluarga dll ada di inggris hehe.... dan memang aku yg melanglang buana ke eropa, jadi aku yg kudu tinggal di eropa :-p ga adil kalau harus maksa dia untuk balik indonesia, wong akunya jg males hihihi..

      Delete
  3. Over-the-range and as well built-in micro wave Lectronic If a resist is a bit jam-packed and you then finding it difficult to simply make space for just about any counter tops short
    wave, one built-in aka over-the-range tandoor could possibly be best choice.
    The entire NuWave Furnace will exchange several house
    equipment for only a percent with the be priced. These Splash over might be the
    exact addition with their spot on South carolina, Eating
    venue Latte Coffee shop and Restaurant, nicely situated
    two more stoplights out from the Globe's Awkward LEGOLAND. Place kneaded dough into a oiled toilet bowl, tossing that will as much as shirt spare on both.

    Here is my web-site: toaster ovens

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...