Friday 17 August 2012

busway

beberapa draft ide menulis yang kuperoleh ketika berlibur ke indonesia bulan mei lalu, masih menumpuk dan menunggu untuk ditindaklanjuti. sayangnya dengan kembali ke rutinitas kerja di kantor dengan seabreg pekerjaan yang sudah menunggu, tak memberiku cukup waktu untuk menuangkan uneg-uneg di kepala sesegera mungkin. perbedaan zona waktu enam jam antara inggris dan indonesia menambah buruk situasi karena kami menderita jetlag sampai dua minggu sekembalinya dari sana, jadi tak ada kesempatan untuk ngetik cerita, apalagi aku tak punya ipad yang bisa dengan enteng ditenteng-tenteng! #haiyah

karena jetlag ini, artinya jam 5 sore kami sudah menguap parah dan pengin tidur karena waktu di indonesia sudah menunjukkan pukul 11 malam. meski matahari di inggris terbenam sekitaran jam 9-10 malam pada awal musim panas, yang artinya jam 5 sore masih sangat terang benderang, tapi jetlag tetaplah jetlag, tak peduli hari sudah gelap atau belum, tetap saja kami tak kuasa menahan kantuk.

pas hari pertama pulang, kami cuma mampu bertahan sampai jam 7 malam, lalu tepar dengan sukses tapi terbangun jam 2 pagi hihihi. hari kedua lebih baik, aku paksakan terjaga sampai jam 11 malam meski suami sudah tepar duluan sejak jam 8, tapi tetap saja aku terjaga jam 3 pagi dan tak bisa tidur lagi. akibatnya malah parah, ngantuk di kantor #eh kok malah ngebahas jetlag sih ya... fokus...fokusss...

jadi begitulah, intinya aku tak punya banyak waktu luang untuk menulis dan mengembangkan draft ide yang sudah kukumpulkan. salah satu ide yang menunggu untuk kutulis adalah soal busway atau bus transjakarta yang kemarin pas pulang itu sempat kunaiki untuk pertama kalinya :-p #wuidiiih norak ya

eh, belum sempat diblog-in, ternyata malah nemu artikel lawas ini di antara news. 

tapi meski sudah terlanjur dibahas di artikel itu, aku akan tetap menulis opiniku mengenai salah satu moda transportasi masal di jakarta yang pernah dan masih cukup kontroversial ini. sebenarnya sih agak malu juga menulis tentang transjakarta karena aku hanya pernah naik sekali saja, sehingga mungkin pendapatku bias dan tidak mewakili kondisi keseluruhan karena tidak merasakannya setiap hari seperti para penumpang pelanggan transjakarta yang lain #siap-siap dihajar massa bentar lagi

membaca berita di atas, akupun hanya bisa mahfum dan mengamini apa yang sudah ditulis oleh penulis berita tersebut karena pengalaman yang kualami dan rasakan tak jauh beda dengan orang-orang yang sudah diwawancarai oleh si penulis berita. jadi supaya ga garing, di sini aku hanya akan menuliskan laporan pandangan mata saja mengenai pengalaman pertamaku naik transjakarta ketika liburan bulan mei yang lalu itu ya. opini-opini selanjutnya sih sudah dibahas di mana-mana, jadi ga perlu kuulang-ulang lagi.

ceritanya kami (aku dan adikku) harus pergi ke daerah cempaka putih karena sudah janji mau ketemuan dengan nyonya cantik pemilik blog ini. dialah yang sudah menciptakan gaun pengantinku yang kupakai untuk resepsi pernikahan tahun lalu. karena ketika memesan kami sama sekali tidak bertemu muka, alih-alih pakai acara fitting segala, tapi proses pembuatan gaun sampai dipakai di hari H lancar jaya tanpa kendala. aku puas deh pokoknya, highly recommended bagi yang mau pesan-pesan kebaya! #halah malah promosi #nyah natali, komisi 10% yah kalau ada pesanan gara-gara blog ini hahaha #pemalakan ala preman mode on

nah, dari arah jalan thamrin dari hotel tempat aku nginap (hotel SPP), aku dan adikku jalan kaki ke depan sarinah plaza dan mulai menaiki tangga logam berwarna keperakan untuk menuju loket busway di tengah-tengah jalan raya yang cukup lebar itu. kesanku, karena letaknya yang persis di tengah jalur arteri, tentu saja tingkat polusinya sangat tinggi sekali. asap knalpot yang disemburkan ribuan mobil yang berlalu lalang setiap menitnya di bawah jembatan tentu sedikit banyak akan mengendap di paru-paru para petugas busway yang sehari-harinya harus nongkrong di terminal tersebut. kasihan juga ya paru-paru mereka.

tak sedikit kulihat beberapa orang terpaksa memakai masker penutup mulut dan hidung ketika berjalan, tapi aku ragukan apakah dengan memakai masker akan bisa mengurangi dampak akibat pencemaran udara terhadap kesehatan tubuh secara signifikan, yang setiap hari terpaksa harus dihirup oleh sebagian penghuni jakarta.

aku sendiri tiba-tiba merasa hidungku gatal ketika menaiki tangga logam menuju terminal busway ini. bukannya sok bersih ya, tentunya paru-paruku yang sudah terbiasa menghirup udara segar jadi rada-rada protes dengan masuknya begitu banyak polutan. lebih-lebih karena pemakaian bbm bersubsidi yang masih mengandung timbal, pasti menambah daftar masalah polusi udara di ibukota negeriku ini. maap, belum beli tiket transjakarta saja sudah sepanjang ini keluhannya ya, hehehe...#ditimpuk massa

bukan bermaksud komplain sih, tapi mudah-mudahan dengan menulis pengalamanku ini, pembaca menjadi lebih peka dan sadar akan bahaya polusi udara di sekitar tempat tinggal dan lingkungan hidup di mana kita beraktivitas sehari-hari. jika memang benar life-expentency atau harapan hidup orang indonesia jauh di bawah bangsa-bangsa berekonomi maju khususnya di eropa dan amerika, maka kita harusnya sadar apa penyebab orang indonesia cenderung mati muda, lalu berusaha untuk mengurangi, menghindari atau meniadakan penyebab-penyebab itu, dan polusi udara adalah salah satunya. begitu maksudku :-)

"ya, tapi kalau setiap hari memang harus berada di daerah berpolusi, bagaimana donk cara mengurangi dampaknya? kan ga bisa begitu saja pindah kerja atau pindah rumah keluar jakarta? enak saja ini penulis blog ngomong, mentang-mentang sudah pindah domisili dari jabodetabek ke inggris" #ceritanya nih lagi diomelin pembaca

memang solusinya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan sih pemirsa. kalau semudah itu, semua orang juga bisa. tapi nyatanya pemerintah sudah berganti berkali-kali, berbagai ide sudah dilaksanakan, bermilyar dana sudah dikorupsi...eh sudah diberikan, tapi tetap saja upaya-upaya yang dilakukan masih belum menunjukkan tingkat kesuksesan yang berarti dalam mengatasi masalah-masalah klasik ibukota seperti kepadatan penduduk, macet, banjir dan polusi! jadi sutralah ya, ga usah dibahas di sini... nanti saja di artikel terpisah :-)

oke, kembali ke cerita busway...

aku dan adikku lalu antri untuk membeli tiket. di sini aku sudah merasa sedikit gembira karena masyarakat indonesia rupanya sudah mulai mengerti budaya antri, yang artinya kalau datangnya belakangan ya nunggu di urutan paling belakang, bukan lantas nerobos ke paling depan tanpa punya rasa malu :-p

tiket seharga Rp 3500 (kalau ga salah ingat) pun kami bayar dan kami menuju ke area tunggu sampai busway-nya lewat. karena kejadiannya sudah lewat 3 bulan lalu, ingatanku jadi agak-agak kabur mengenai detil-detil tertentu. yang pasti, ketika bus datang, kami antri lagi di satu pintu masuk, menunggu sampai penumpang dari pintu satunya keluar melalui jalur pintu yang lain. begitu proses penurunan penumpang selesai, baru pintu bis untuk penumpang masuk dibuka, dan penumpang baru dipersilakan masuk oleh mas-mas kondektur yang terlihat lebih necis dibanding kondektur-kondektur bis di terminal bis tradisional. idenya boleh juga sih, untuk menghindari rebutan masuk bis ala indonesia, saling sikut, dorong dan gencet sampai gepeng!

di dalam bis, ceritanya lain lagi. kapasitas jumlah penumpang dan bis yang tersedia tidak berimbang hari itu. akibatnya kami harus berdiri bergantungan dan digencet juga oleh penumpang lain. poin positif lagi dari sistem busway ini, penumpang perempuan diusahakan dipisahkan dari para penumpang laki-laki. kabarnya sih dulu-dulunya sering terjadi pelecehan seksual! #haiyaaa ga usah dibahas ya topik yang menjijikkan ini

karena kelebihan penumpang, akibatnya kondisi di dalam bis mau tak mau jadi pengap. ac yang menyala menderu-deru berusaha sekuat tenaga untuk menyemburkan udara dingin ke dalam bis, tapi rupanya masih tak cukup kuat melawan hembusan napas para penumpang yang terlanjur berpeluh dan mengeluarkan uap panas dari hidungnya #naga kaleee. ditambah lagi, mungkin karena kurangnya frekuensi perawatan, kisi-kisi ac juga terlihat hitam berdebu dan kotor. kalau ac-nya saja begitu, bagaimana dengan perawatan mesin bis dan lain-lainnya ya. untung busway punya jalur sendiri, kalau mogok jadi ga begitu membahayakan :-)

dari segi harga tiket, angkutan masal jakarta ini sudah memenuhi kriteria, artinya dengan harga tiket yang relatif murah dan terjangkau bahkan oleh kaum miskin, publik bisa memanfaatkan jasa angkutan umum masal dan berpindah dari titik a ke titik tujuan b dengan mudah. sayangnya kriteria-kriteria angkutan masal ibukota lainnya belum terpenuhi. jadwal kedatangan bis masih jauh dari tepat waktu, dari segi pelayanan masih kurang terutama penyeimbangan jumlah penumpang dan jumlah armada bis, dan perawatan bis yang agak terabaikan seperti contohnya ac tadi. dari segi infrastruktur sih sudah lumayan, meski kehadiran jalur busway seringkali dikeluhkan pengguna kendaraan di jakarta karena kehadirannya bukannya mengurangi macet tetapi malah menambah macet.

kalau mau dibandingkan dengan angkutan masal di kota-kota besar lain di luar indonesia yang pernah kukunjungi, jakarta termasuk cukup parah. separah apa, entahlah, aku tak punya datanya, lagi malas nyari juga. aku sudah pernah ke seoul di korea meski cuma lewat sesaat dan tak berkesempatan mencoba angkutan umumnya. tapi meski padat, jalanannya rapi, bersih dan teratur. mungkin karena tingkat kedisiplinan penghuninya sangat tinggi dalam mematuhi peraturan-peraturan yang ada. mungkin pula karena kepadatan jumlah penduduk per meter perseginya masih di bawah jakarta.

lalu aku tinggal di budapest yang juga kota besar, meski cuma berpenduduk 2 juta saja. angkutan masal utama di budapest adalah kereta bawah tanah, yang meski baru saja bergabung dengan uni eropa beberapa tahun lalu dan masih termasuk satu dari beberapa negara miskin di eropa, tapi tingkat pelayanan dan kenyamanannya sudah bisa diacungi jempol. murah, cepat, tepat waktu, kapasitas berimbang yang artinya hampir setiap penumpang selalu dapat tempat duduk dan nyaman. itu sepertinya kriteria-kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh angkutan umum masal di kota besar yang sayangnya transjakarta masih belum bisa capai.

aku pernah pula ke berlin, frankfurt, koln, wina, bratislava, paris, brusel, roma, venesia, milan, london, edinburgh, birmingham, manchester (hmm...mana lagi ya...#dikeplak), yang semuanya masuk kategori kota besar, entah karena merupakan ibukota negara atau karena jumlah penduduknya memenuhi kriteria tertentu hingga disebut kota besar. dengan keberadaan moda transportasi masal yang berbeda-beda, dari kereta bawah tanah yang umum ada di ibukota seperti di london, wina dan paris, bis kota dan tram seperti di manchester, atau angkutan umum air seperti di venesia, rata-rata kriteria-kriteria dasar yang diimpikan para pengguna jasa transportasi umum masal sudah atau mendekati terpenuhi.

"ngomong doank mah gampang, negara-negara itu kan kaya. mana bisa kita menyaingi mereka" protes pembaca.

dari segi pendapatan per kapita memang mereka lebih dari kita, dari segi ekonomi mereka memang lebih maju, dari segi penduduk mereka mungkin lebih sedikit. tapi kita juga ga miskin-miskin amat toh. anggaran belanja tahunan kita cukup besar. kalau bangun mall-mall bisa, bangun gedung bertingkat dan apartemen mewah bisa, kalau bangun ini itu sampai lupa menyisakan lahan hijau untuk paru-paru kota bisa, kalau berfoya-foya studi banding keluar negeri bisa #eh, kenapa bangun transportasi masal ga bisa? kendala di mana-mana pastilah ada. dan mungkin yang membedakan kita dengan negara-negara itu, mungkin adalah tingkat kecenderungan korupsi di negara kita masih sangat tinggi. itu saja... tapi ah, sudahlah... ngebahas korupsi ga akan ada matinya :-)

hingga sampai saat di mana masyarakat jakarta bisa merasakan pemenuhan kriteria dasar moda transportasi masal satu hari nanti, urusan kemacetan di jakarta masih takkan bisa terurai karena ketiadaan transportasi umum masal yang memadai seperti di kota-kota besar lain yang sudah merasakan kesuksesan penanganan masalah transportasi ini. sampai masa itu tiba, entah kapan, kita masih harus menunggu sambil gigit jari di tengah-tengah kemacetan di dalam mobil pribadi bagi yang mampu memiliki mobil, atau berpeluh menunggu kedatangan transjakarta sambil menghirup asap polusi lalu berdiri bergelantung berdesakan di dalamnya.

mumpung pilkada dki masih anget, mudah-mudahan pemimpin dki yang baru, bapak berbaju kotak-kotak itu, atau bapak pemimpin yang lama tapi pengin menang lagi itu #uhuk mampu membuat perubahan yang signifikan, dalam arti bisa mewujudkan (sedikit saja) harapan masyarakat jakarta yang ingin menikmati angkutan umum masal yang tepat waktu, cepat, murah, nyaman dan tak berpolusi, seperti halnya penghuni-penghuni kota besar di negara-negara lainnya.

bisa apa ga ya kira-kira....




.:kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga:.

6 comments:

  1. Mbak, mungkin komenku OOT ya. Aku cuma mau komen kalau aku pengen banget ke Manchester. Mau ke Old Trafford-nya. :'( *gara2 mbak nay nyebut2 Manchester sih*

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha jujur banget nih anak :-p nabung buat beli tiket Kim, kira2 10 jutaan. nginep makan di rumahku, ke Old Trafford ntar kuanterin... tuh kurang baek gimana lagi..hihihi

      Delete
  2. wah mungkin harus lebih lama tinggal di jakarta nih... biar lebih kuat terhadap polusi :) hehehehehe
    karena manusia itu makluk yang paling mudah beradaptasi... hehehehehe..

    cuma di puncak yang udaranya bagus heheheh selebihnya paru paru kita yang butuh beradaptasi.. karena lama lama kuat kok percaya deh... salam..... terus kemudian pilih pemimpin yang bener... nice one..

    ReplyDelete
    Replies
    1. lho..pan dulu sudah pernah mas, 5.5 tahun :-) kurang apa coba hehe...

      Delete
  3. bukan namanya indonesia..kalau tidak semmrawut dan macet, karena segalanya memang sengaja dibuat macet...entah apa sebabnya :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...