Thursday 18 November 2010

kios

ibuku hanya berijasah es de. ia tak pernah tamat es em pe karena nenekku tak mampu melunasi uang es pe pe ibu, hingga ia tak diperbolehkan ikut ujian akhir. tanpa bekal ijazah yang cukup, karir ibu mentok cuma sebatas pekerja pabrik pemintalan benang saja.

sejak ibu menikah dengan bapak, ibu mulai mengikuti jejak nenekku, berdagang. keluarga ibu memang keluarga pedagang. tapi bukan berdagang selevel saudagar besar, hanya dagang asongan dengan modal pas-pasan. menurutnya berdagang itu paling gampang, asal bisa hitung hitungan uang.

sejak kecil aku sudah terbiasa melihat ibu berangkat pagi-pagi buta ke pasar tradisional di kota, dan pulang ke rumah ketika hari telah senja. kamipun tumbuh besar di tangan nenek sampai beranjak dewasa. kadang-kadang bapak membawa kami ke pasar pada hari minggu ketika kami tak sekolah, untuk ikut membantu ibu di kios kecilnya. atau ketika sekolah libur panjang berganti tahun ajaran, kamipun akan ikut ke pasar dengan sukacita.



biasanya ibu akan membuka kunci gembok, lalu membuka pintu kios satu persatu, lalu mengeluarkan barang dagangan dan memajangnya. kios kelontong ibu menjual ragam kebutuhan dapur sehari-hari. ada beras, kentang, minyak goreng, bumbu-bumbu, sampai kerupuk, emping, dan masih banyak lagi. kios itu sudah seperti rumah ibu yang kedua.

kios ibu dan kios-kios sejenis lainnya selalu menyebarkan bau khas pasar tradisional kota. dari bau tengik minyak goreng yang tak bertanggal kadaluwarsa, sampai bau onggokan kol busuk yang belum di angkut pasukan sapu bersih sampah pasar, yang memang tak banyak jumlahnya. belum lagi bau got yang lebih sering tersumbat sampah pasar daripada lancarnya, karena mungkin jarang dikeruk alirannya. tak ketinggalan pula para tikus-tikus yang berpesta pora jika malam tiba ketika pemilik kios satu-persatu mulai pulang menutup dagangannya tuk kembali lagi keesokan harinya.

berdagang di pasar tak mengenal hari, tak kenal cuti dan tak kenal tamasya. katanya jika tutup sehari saja, pelanggan akan berpindah ke kios sebelahnya. tak juga libur jika tanggal merah tiba, itu justru hari baik untuk berdagang karena pembeli akan meningkat jumlahnya.

teman-teman ibu di pasar banyak macamnya. dari tetangga kios yang ramah, sampai yang katanya sering bertengkar karena rebutan pelanggan satu dan lainnya, sudah hal yang biasa. dari tukang pikul pasar, sampai tukang tagih hutang. dari tukang jualan baju, sampai tukang jualan tahu. begitu ragamnya, begitu dinamikanya.

ikut ibu berjualan di pasar selalu menyenangkan, meski kadang menjadi dilema juga. menyenangkan karena dengan pergi ke pasar, kami boleh jajan sepuasnya, beli makanan kecil sekenyangnya dan beli es mambo sebanyak-banyaknya. tapi kami juga harus membantu ibu memilah-milah dagangan, menimbang dan membungkusnya hingga siap dijual ke para calon pembeli. sebagai anak-anak, tentu kami kurang mengerti arti bekerja keras sebenar-benarnya.

aku ingat dulu sering ditugaskan untuk menimbangi gula dari kantong besar, menjadi kantongan kecil-kecil 1/4 kilo, 1/2 kilo dan 1 kilo, lalu menyusunnya dengan rapi di atas rak besi. atau memilah-milah bawang merah dari karung, yang ukuran besar terpisah dari yang sedang dan yang kecil, agar ibu bisa menjualnya dengan harga yang berbeda per kilonya. tentunya dengan harapan untuk mendapat untung meski tak seberapa.

jika tak ada yang bisa kami kerjakan, pembelipun sepi, ikut berjualan di pasar akan cepat bosan rasanya. diam saja di kios, panasnya udara tak terkira. seringkali aku berjalan-jalan sendiri, menyusuri lorong-lorong pasar, melihat-lihat kios-kios para pedagang lainnya. paling senang aku pergi ke kios ikan meski bau, melihat beraneka ragam kekayaan laut. atau melihat kios baju-baju dan sepatu. hanya melihat-lihat saja, cuci mata istilahnya. untuk anak seumurku yang masih duduk di bangku es de waktu itu, cuci mata membuatku berkhayal, kapan aku bisa membeli barang-barang di pajangan toko itu dengan uangku sendiri?

saat lebaran tiba, biasanya semua kios di pasar panen pembeli. kami juga harus sering-sering ke kios ibu untuk membantu. hasil panen akan diberikan lagi ke kami, berbentuk baju, sepatu atau perhiasan baru tuk dipakai di hari raya kesatu. kalau untung ibu lebih banyak lagi, biasa kami punya dua baju baru untuk hari raya kedua, meski baju pasar yang kami pakai kualitasnya tak seberapa.

tahun berlalu, satu hari bapak berunding dengan ibu, kios pasar harus dijual tak lama setelah kami pindah ke rumah baru. rumah kami agak jauh dari rumah nenek di mana kami tinggal dulu. karena jarak dan kesibukan ibu bertambah dengan hadirnya adik-adikku, ibu tak lagi sanggup bekerja seperti itu.

sejak kami tak lagi tinggal bersama nenek, ibu harus sendirian mengurus kami. kios itupun berpindah tangan bersama semua kenangan kami yang lalu terganti dengan beberapa lembar uang kertas baru. namun tak lama kemudian, sebuah bangunan kecil berdiri di pojok depan rumah baru kami. itu kios baru milik ibu, tuk berjualan berbagai keperluan sehari-hari ke tetangga-tetangga baru di kompleks itu. tak ada lagi suasana pasar kota yang semrawut tapi selalu kurindu.

puluhan tahun kini berlalu, telah lama aku tak menginjakkan kakiku ke sana. ingin sekali rasanya bernostalgia ke pasar kota itu. namun tanpa kios ibu, akankah kurasakan dinamika yang sama?

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...