Friday 22 July 2011

price tag

sejak tinggal di negara maju, hal-hal yang dulu masih aku anggap sepele, tiba-tiba menjadi demikian penting.

sewaktu masih kuliah di manchester dulu, kemana-mana aku cukup jalan kaki atau naik bis kota, terbiasa dengan kebiasaan lama. namun seringkali aku harus mengingatkan diriku sendiri, bahwa ada begitu banyak peraturan di negeri ini yang wajib dipatuhi, yang tak biasa kujumpai di negeriku sendiri.

sejak melangkahkan kaki ke dalam bis, memilih tempat duduk atau berdiri, sampai saat minta berhenti. semua ada aturannya. menghentikan bis harus di halte, tak boleh sembarangan duduk di bangku prioritas untuk ibu hamil dan lansia, berhenti harus pencet tombol dulu sebelum bis mendekati halte, dan lain-lain. tiketpun harus dibayar sewaktu naik, dan harus disimpan untuk bukti jika sewaktu-waktu ada razia tiket. semua serba tertib, lancar, teratur, aman dan nyaman.

sangat kontras dengan kondisi di negeri asalku, naik kendaraan umum bisa dengan mudahnya minta pak supir untuk berhenti di mana saja, dan kapan saja sesuka penumpangnya.


bis kota meluncur zig zag di jalan raya dengan penumpang yang sarat hampir tumpah ruah, dengan satu kaki kondektur berpijak di pojok lantai bis yang tersisa di dekat pintu, satunya lagi melayang bebas di udara.

penumpangnya? terhimpit-himpit di antara bau tak sedap keringat yang mengucur dari para penumpang lainnya karena bis-nya tak ber-AC, atau ber-AC tapi tak cukup dingin melawan teriknya suhu udara katulistiwa. belum lagi para copet yang menjadikan situasi ini sebagai ladang mata pencaharian sehari-hari mereka demi sesuap nasi.

di saat negeri tak cukup mampu memberikan peluang untuk bekerja sesuai dengan minat bakat keahlian dan cita-cita masa kecil mereka yang terkubur hidup-hidup didera kerasnya realita, urusan perutpun menjadi lebih utama. keretapun sama saja. jika tak cukup tempat duduk di dalam gerbong, penumpang akan dengan sukarela naik ke atap meski harus mempertaruhkan nyawa, yang terkadang harus dibayar dengan melayangnya korban jiwa. ah, demikian murahnya sebuah nyawa, hampir tak ada harga.

pemberian label harga kepada sebuah nyawa sepertinya tergantung pada seberapa peduli dan sejahtera sebuah negeri. tak peduli miskin atau kaya, di sebuah negeri yang peduli, nyawa seorang pencuri, gelandangan, atau pemabuk menjadi demikian berharga meski ia bukan siapa-siapa.

sebaliknya begitu banyak orang baik yang terjebak dalam situasi di mana sebuah bis kota tak lagi mempedulikan aturan lalu lintas hingga mengancam keselamatan para penumpangnya, hingga nyawa orang-orang baik itu tak lagi ada harganya. sepertinya memang tak adil, tapi solusinya tentu juga tak sederhana.

ujung-ujungnya, di mana kita berada, maka sistem setempat yang akan memberikan label harga. namun lagi-lagi, bukankah pada akhirnya nyawa itu bukanlah milik kita?

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...