aku merasa hidupku sekarang ini sudah nyaman.
meskipun sebenernya dalam keadaan dan kondisi hidup yang bagaimanapun, aku memang selalu merasa nyaman sih. karena aku berprinsip, enak ngga enak, nyaman ngga nyaman menjalani kehidupan itu tergantung dari mindset atau prinsip pola pikir kita sendiri. prinsip ini kubawa terus kemana-mana, sejak aku masih tinggal di indonesia, sampai aku melanglang buana ke eropa sampai saat ini.
kalau kalian sekarang cuma lihat kondisiku yang kemana-mana naik mobil, bahkan ganti-ganti warna, atau lenggak-lenggok gonta-ganti baju, sepatu, atau tas, lalu mikir wah enak ya mbaknya hidupnya. sebetulnya dan sejujurnya hidupku memang selalu kelihatan enak. engga sekarang, engga pun jaman dulu. cuma memang pas jaman dulu engga ada internet dan sosmed, jadi engga kelihatan 😆
bukan juga karena aku berasal dari keluarga tajir melintir yang sejak lahir sudah bergelimang harta, sama sekali bukan. justru sebaliknya, aku berasal dari keluarga pas-pasan dan sederhana, yang terkadang untuk makan sehari-hari saja kurang. yang kalau makan daging paha ayam saja dulu adalah sebuah hal yang sangat mewah. yang terkadang nasi yang kami makan berasal dari beras yang banyak kutunya karena cuma jenis beras termurah itu yang sanggup kami beli. bahkan pernah kami dulu sampai kudu makan nasi aking!
separah itu? iya! separah itu.
tapi meski begitu, melewati tahapan kehidupan yang berkelok dan berliku menuju ke kehidupan yang sekarang, engga pernah sekalipun aku merasa ngga nyaman. engga pernah aku merasa hidup kok merana, atau sengsara, atau menderita. sama sekali ngga pernah. sekurang-kurangnya kondisi keluargaku saat itu, pola pikir yang ada di kepalaku adalah, ini juga sudah nyaman kok, karena akan selalu masih ada keluarga lain yang kondisinya jauh di bawah kita.
selama kami masih punya atap dan bisa berteduh dari panas dan hujan, masih bisa makan meski tanpa daging dan terkadang telor dua butir pun masih harus dicampur dengan banyak sayuran supaya cukup untuk lauk kami ber-8, ikan sardin satu kaleng kecil itu kudu ditambah air dan sayuran yang banyak supaya bisa dibagi-bagi. kami tetap bersyukur dan merasa hidup kami nyaman-nyaman saja.
selepas sekolah dan kuliah, begitu aku mulai merasakan punya gaji sendiri, pola pikir selalu merasa nyaman ini juga masih kupegang erat.
sebagai karyawan pabrik, ngekos di rumah petak ukuran 6 meter kali 3 meter berdua dengan almarhum adikku, kami juga merasa nyaman-nyaman saja. malah di situ aku merasa berlebih, dibandingkan ketika masih hidup dengan orang tua.
minimal sejak bekerja sendiri aku bisa membeli makanan apa saja yang aku inginkan. engga lagi harus berbagi satu dada ayam goreng yang kudu dipotong-potong jadi 6 supaya semua saudaraku kebagian meski cuma secuil-secuil, dari nasi kotak yang dibawa almarhum bapakku pulang dari hajatan di rumah tetangga. engga lagi harus nunggu ortu punya duit lebih, supaya kami bisa jajan bakso di abang-abang yang lewat. punya gaji sendiri menjadikan hidupku yang memang selalu nyaman, menjadi lebih nyaman lagi.
pun ketika aku harus kerja senin sampai jumat di pabrik. lalu sabtu dan minggunya masih harus pergi kuliah ke meruya dekat kebon jeruk jakarta barat yang jaraknya lumayan jauh dari tempat kosanku di daerah cikarang sana.
karena keterbatasan uang, moda transportasi yang kupake jaman itu adalah pilihan yang paling murah, yaitu bis jurusan cikarang ke cimone yang lewat daerah kebon jeruk di mana aku harus turun, lalu nyambung pindah naik angkot kecil jurusan ciledug ke arah kampus di meruya. aku harus ke terminal bis pagi-pagi supaya bisa sampai ke kampus dan hadir di perkuliahan pertama. seharian di kampus sampai mata kuliah paling akhir selesai kira-kira jam 3 atau 4 sore, pulangnya terkadang bisa sampai di cikarang lagi sudah malam hari. besok paginya hari minggu seperti itu lagi. senin sampai jumat kerja di pabrik lagi.
bukan bis cikarang-cimone, tapi kurlebnya seperti ini. warnanya juga hijau |
bis murah ini tanpa ac. jendelanya pun sudah banyak yang rusak dan terbuka terus. bentuk bisnya sudah seperti kaleng rombeng. dan jaman itu karena kenyamanan berkendara masih belum seperti sekarang, seringkali aku harus berdesakan kalau penumpangnya melebihi kapasitas. panas, sesak, sumpek dan bau keringat sudah jadi hal yang biasa. tapi meski dengan kondisi seperti itupun, aku masih menganggap itu hal yang nyaman. yang penting aku bisa sampe di kampus dan bisa belajar supaya ambisiku untuk meng-upgrade ijasah D3 ku ke ijasah S1 akan tercapai.
terhimpit di antara sesaknya penumpang bis cikarang-cimone setiap hari sabtu dan minggu selama kurang lebih satu setengah tahun atau selama 3 semester perkuliahan kujalani dengan nyaman-nyaman saja, tanpa keluhan. pola pikirku pada saat itu fokus ke harus lulus dengan nilai setinggi mungkin supaya bisa kupakai untuk mencari beasiswa. peduli setan harus berjibaku dengan bis kaleng rombeng yang harus kunaiki seminggu dua kali ini.
yang penting aku bisa lulus!
dan memang benar. sejelek apapun kondisi bis cikarang cimone ini, aku justru harus berterima kasih pada layanan moda transport yang sudah menghantarkanku ke kelulusan jenjang strata 1 yang akhirnya membuka pintu keberuntungan untuk memperoleh beasiswa strata 2 ke eropa.
sungguh bis cikarang - cimone inilah yang sangat berjasa kepadaku, sampai aku bisa menjadi aku yang sekarang ini. meskipun sederhana kondisi bisnya, menurutku itu bukan masalah. karena yang penting bis ini bisa memenuhi kebutuhanku akan transportasi dari tempat kosanku di cikarang ke kampusku di meruya kebon jeruk, saat itu. tepatnya antara tahun 2003 sampai 2005. sama sekali ngga pernah kurasakan ketidaknyamanan mengendarai bis ini.
sementara teman-teman kuliahku dulu banyak yang sudah bermobil, tapi aku asik-asik saja naik turun bis kaleng rombeng ini.
jadi kesimpulanku, kondisi-kondisi yang mungkin dilihat oleh sebagian orang sebagai suatu ketidaknyamanan, jikalau kita melewatinya dengan pola pikir nyaman, engga akan jadi masalah. kitapun akan merasa nyaman-nyaman saja. karena semua tergantung dari pola pikir kita!
setuju?
No comments:
Post a Comment