maap, tulisan ini panjang!
setelah tagar #kaburajadulu sempat viral beberapa waktu yang lalu, eh ada lagi yang baru buat nyaingin tagar lama, yaitu #pulangajadulu. sudah pernah kubahas yang 'kabur' beberapa waktu yang lalu, kali ini aku mau ngebahas yang 'pulang' biar adil dan berimbang, keduanya dapet bagian.
kalau fenomena 'kabur aja dulu' itu berlaku bagi mereka-mereka yang memutuskan untuk pindah ke luar negeri untuk mengadu nasib dan mencari penghidupan baru yang kudunya sih lebih layak dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya di indonesia, fenomena 'pulang aja dulu' malah sebaliknya.
berlaku bagi mereka-mereka orang indonesia baik yang sendiri atau sudah punya pasangan dan berkeluarga, baik pasangannya sesama orang indonesia atau warga negara asing segala warna kulit ngga cuma bule aja, yang justru memutuskan setelah sekian lama bahkan bertahun-tahun sudah tinggal, beranak pinak, menetap, berkarya atau bermukim di luar negeri, untuk BFG atau back for good, pulang kampung untuk kembali menetap di tanah air.
aneh kan?!
kubilang juga apa, pas aku nulis yang kabur itu, aku udah nebak kalau dinamika ini adalah dinamika yang lumrah, wajar dan biasa. kalau ada perpindahan penduduk keluar dari sebuah negara, pasti akan ada perpindahan penduduk masuk ke negara tersebut, jadi normal-normal saja seharusnya. yang bikin heboh, mungkin karena terlalu diekspos oleh para pembuat konten, makanya jadi rame.
fenomena 'pulang aja dulu' inipun demikian.
karena momennya pas banget, di saat orang-orang pada kabur, eh ada yang malah posting mau balik kampung. padahal menurut para netizen yang budiman, mereka ini kelihatan sudah 'hidup enak' di luar negeri, kan langsung bikin heboh. momen-momen seperti ini memang cenderung mengaduk-aduk perasaan manusia, jadinya viral deh.
orang pasti bertanya-tanya kalau ada yang sudah kelihatan enak tinggal di luar negeri yang merupakan impian sebagian orang, eh tiba-tiba kok malah pasang pengumuman mau balik ke indonesia selamanya. kenapa? kok bisa? apa alasannya dan lain-lain.
dari banyak postingan serupa yang hilir mudik di linimasaku beberapa hari ini, dan dari ratusan bahkan ribuan komen dari mereka-mereka yang juga melakukan hal yang sama meski ngga semuanya kubaca, kurang kerjaan apa ya, atau dari mereka yang ngga pernah ngalamin tapi hanya ingin beropini saja, kucoba rangkum jadi satu dan kukategorikan ya, supaya bisa jadi bahan skripsi haha 😂.
pertanyaan yang berkecamuk di benak kita mungkin ada banyak. kok bisa ngga betah lagi tinggal di luar negeri? katanya enak? katanya impian sebagian besar orang? katanya pasti makmur hidupnya? katanya gampang cari kerja? katanya gajinya gede banget? katanya pasti bahagia keluarganya dan lain sebagainya. lha kok malah mau pulang, apa ngga salah?
dari banyaknya alasan yang disebutkan, perlu kita ingat bahwa pastinya pada dasarnya setiap manusia itu punya kehidupan yang unik dan berbeda untuk tiap individu.
apapun keputusan hidup yang dilakukan oleh individu tersebut, ya pastinya sudah dipikirkan baik-baik dan masak-masak sebelum memutuskan. terlepas dari pada akhirnya keputusan itu adalah keputusan yang benar atau salah, itu hanya akan diketahui nanti setelah dijalankan, kan gitu. tapi pada saat ambil keputusan, ya itulah yang akan dilakukan.
seperti halnya keputusan untuk kembali ke tanah air!
kali ini aku akan bahas dari 3 pov alias point of view atau sudut pandang dari setiap alasan yang dijadikan bahan pertimbangan kenapa banyak yang katanya sudah enak tinggal di luar negeri tapi akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke indonesia. sudut pandang pertama dari si pelaku yang memutuskan untuk balik ke indonesia, sudut pandang kedua dari para pengamat atau netizen yang ngga habis pikir kenapa sudah enak kok malah ditinggal pergi.
sudut pandang ketiga adalah opiniku pribadi tentang alasan tersebut, dari sisi orang indonesia yang juga tinggal di luar negeri tapi sepertinya engga akan ikutan balik kampung, karena sejauh ini masih betah dan akan terus betah sampe nanti masuk masa pensiun, baru kupikirkan lagi enaknya gimana, hehe 😁
***
1) makanan
pov perantau:
kata mereka yang sudah memutuskan untuk balik ke tanah air, rata-rata mengatakan kalau makanan di luar negeri itu membosankan! kurang menarik dan kurang variatif ngga kayak di indonesia. ya iyalah, di indonesia soto aja bisa ada 20 macam variannya 😂 belum lagi kenikmatan mudahnya memperoleh berbagai jenis makanan dari a sampai z yang selalu ada di mana-mana, bahkan lewat depan rumah ngga usah usaha nyari jauh-jauh, makanan datang sendiri. kalaupun jauh, layanan aplikasi grabfood tersedia di mana-mana untuk segala jenis masakan.
belum lagi jenis jajanan dan berbagai macam kue. trus setiap ada perayaan apapun, pasti juga balik lagi ke makan-makan. kayaknya orang indonesia hidupnya seputar makanan melulu ya, hehe.
hal seperti ini yang sulit dijumpai di luar negeri. semaju apapun negara yang dihuni, dan meskipun di luar negeri juga banyak tersedia toko-toko yang jualan berbagai jenis makanan indonesia, atau resto indonesia yang jualan masakan khas indonesia, tapi dari segi harga memang jadi sangat mahal sekali. dari segi rasa juga hit and miss, kadang cocok kadang aneh ngga otentik lagi. jadi seolah-olah kalau pengin makan makanan indonesia itu sebagai sebuah kemewahan.
jadi bagi mereka-mereka yang akhirnya memutuskan untuk mudik selamanya, merasa kalau mereka ngga lagi bisa mentolerir makan makanan luar negeri secara terus-menerus dan kangen banget untuk bisa menikmati lagi kemudahan mendapatkan aneka makanan indonesia yang lezat, murah, dan mudah didapat.
pov netizen:
kebanyakan metizen setuju sih kalau memang kelezatan makanan indonesia itu tiada duanya, jadi memang ngangenin. tapi ada juga yang berpendapat dan berpandangan kalau tinggal di luar negeri itu ya kudu mengubah lidah untuk bisa menerima jenis makanan di negara tersebut. apalagi bagi mereka yang memang suka bertualang dalam mencoba kuliner-kuliner luar negeri.
sebagai kebutuhan dasar manusia paling utama, memang banyak orang yang sulit beradaptasi soal makan. mereka-mereka yang memutuskan untuk balik kampung mungkin sudah berusaha beradaptasi, tapi yah perlu diingat juga kalau alasan makanan yang kurang cocok itu hanya salah satu faktor dari banyak faktor lain.
pov ku:
waktu di awal-awal merantau ke eropa tahun 2005 dulu, aku semangat banget nyobain makanan-makanan luar negeri yang aneh-aneh. favoritku pas masih tinggal di budapest dulu, adalah makan goulash, masakan khas hongaria yaitu sup kentang, paprika, dan daging sapi yang enak dan segar. aku juga suka banget kue apple strudle khas jerman. atau dumpling bayam dan oseng hati ayam khas austria yang pernah kuceritain di sini.
meski aku ini ngga terlalu suka kulineran, percaya ngga percaya aku ngga pernah doyan dan ngga mau nyoba pecel lele, dan sampe pindah eropa aku tuh hampir ngga pernah makan nasi padang haha, ngga suka pizza dan sampe sekarang ngga pernah nyoba burger, pete, atau jengkol. jadi aku tuh selalu pilih-pilih kalau makan. tapi pas pindah ke eropa, ternyata lidahku bisa dengan mudahnya nyoba makanan-makanan khas eropa yang seumur-umur aku ngga pernah makan sebelumnya. kok ya enak ternyata 😅
pas pindah ke uk dan malah netap di sini, aku juga mulai paham di mana nyari toko asia, atau kalau perlu makanan indonesia tapi males masak, kudu beli di mana. banyak kok meski harga memang mahal, tapi kalau memang perlu makan masakan indonesia di inggris sini mau beli apapun ada yang jualan. aku sudah pernah bahas makanan indonesia apa saja yang bisa tinggal beli di inggris sini. asal punya duit banyak aja buat jajan, semuanya ada!
tapi karena lidahku sudah adaptasi sejak aku tinggal di hongaria dulu, aku malah ngga begitu kangen makanan indonesia. sekali-kali doank, tapi ngga tiap hari aku nyari nasi. bahkan sejak hamil dan kena pre-diabet itu, aku malah ngga pernah masak nasi lagi, jarang banget paling sebulan dua kali. makananku sehari-hari beragam dan bervariasi dari berbagai macam jenis makanan. apalagi sejak nyoba ngerubah gaya hidup menuju ke yang lebih sehat, aku sudah lebih beralih ke jenis makanan sehat yang rendah kalori, rendah gula, garam, dan belakangan ini rendah kolesterol. dan karena kebanyakan resep makanan indonesia sudah ngga masuk kriteria itu, aku aku sudah jarang banget makan masakan indonesia. kalaupun pengin, cara masaknya kumodifikasi supaya dietku tetap aman dan terjaga.
jadi dari segi makanan, aku ngga masalah mau tinggal di belahan bumi manapun. ada makanan indonesia ya kumakan, ngga ada ya ngga papa ngga harus nyari-nyari juga. kangen sekali-kali sih wajar, tapi misalnya ngga ketemu nasi 6 bulan juga ngga bakalan panik atau kuatir.
***
2) cuaca
pov perantau:
waini!
niat pindah dan hidup di luar negeri, terutama ke wilayah yang jauh dari garis katulistiwa. kudu siap-siap mengalami perbedaan cuaca, apalagi di negara-negara 4 musim. kalau pas musim panas sih enak, udaranya hangat dan siang hari lebih panjang. musim semi dan musim gugur juga masih bisa ditolerir. tapi kebanyakan para perantau mengeluhkan musim dingin yang memang selain siang hari lebih pendek, malam lebih panjang, juga kurangnya sinar matahari selama berbulan-bulan.
di sinilah timbul keluhan dari yang hanya sekedar winter blues ringan sampe ada yang kena depresi akut. sementara kalau di indonesia karena ngga pernah ada musim dingin, jadi irama kehidupannya terasa lebih ringan, enteng, dan tanpa depresi yang penyebabnya karena cuaca. keluhan seperti ini sangat umum, wajar dan bisa dimaklumi. negara-negara skandinavia yang mengalami musim dingin yang cukup panjang pun penduduknya mengalami hal yang sama. bahkan di beberapa negara lain yang musim dinginnya lebih panjang lagi, jumlah penduduk yang mengidap depresi pasti lebih banyak jumlahnya.
jika keluhan ini engga segera diatasi dan si penderita yang dalah bahasan kali ini adalah orang indonesia yang tinggal di luar negeri engga bisa menemukan solusi untuk mengatasi keluhan winter blues ini, ya biasanya milih untuk pulang ke indonesia. yang bertahan di luar negeri, biasanya mengatasi hal ini dengan jalan-jalan ke luar negara tersebut ke wilayah-wilayah yang hangat seperti ke dubai, abu dhabi, doha di timur tengah, atau ke kepulauan maldives dan daerah-daerah wisata bercuaca hangat yang lain.
masalahnya, liburan seperti ini cuma untuk menghindari musim dingin kan juga ngga murah biayanya. nanti deh faktor yang ini kita bahas di kategori yang lain di bawah, mengenai biaya hidup.
satu lagi yang sering dikeluhkan yang berhubungan dengan cuaca, yaitu tingkat polusi udara. meski ini sangat tergantung di mana perantau tersebut tinggal sih. kalau misalnya di luar negeri tinggalnya di kota besar seperti london atau new york, tapi di indonesia tinggalnya di pedalaman kalimantan, sepertinya udara di kalimantan jauh lebih bersih. jadi faktor ini agak kurang meyakinkan untuk dijadikan patokan pengambilan keputusan untuk mudik selamanya.
pov netizen:
komen-komen seputar masalah ini biasanya agak kurang nyambung. orang indonesia yang belum pernah tinggal di luar negeri dan ngalamin sendiri dinginnya udara musim dingin, pastinya akan kesulitan untuk membayangkan, alih-alih ngasih solusi. dalam beropinipun mereka cuma mengutarakan keheranan mereka kenapa musim dingin itu jadi seperti momok menakutkan. padahal yang mereka saksikan di film-film barat atau drama korea, justru tampilan musim dingin itu biasanya romantis dan menyenangkan. bermain salju, ski, atau sekedar mengamati salju turun dari balik jendela.
karena belum tahu rasanya, jadi kadang ngga nyambung mengenai apa yang dikeluhkan oleh perantau di luar negeri, dengan komentar yang ditulis oleh yang ngga paham cuaca negeri 4 musim.
pov ku:
bohong banget kalau kubilang aku engga ada masalah dengan perubahan cuaca sejak aku menginggalkan indonesia untuk tingal di eropa. tentu saja di awal-awal badanku kaget dan syok. kulit mukaku sampe mengelupas dan terasa perih selama 3 bulan berturut-turut. lambat laun memang badan manusia itu selalu bisa beradaptasi, tapi ada masanya di mana aku bener-bener mengutuk negeri 4 musim terutama pas di musim dingin.
adaptasi apapun itu butuh waktu.
badankupun begitu. meski di awal-awal sempat berjuang melawan cuaca di eropa, tapi lama kelamaan badanku lumayan beradaptasi juga. dari yang tadinya di tengah-tengah musim panas aku dulu masih pake jaket musim dingin ke mana-mana, sekarang sudah bisa pake celana pendek di musim semi. apalagi sejak rutin ngegym dan massa ototku pelan tapi pasti mulai bertambah, aku ngga merasa dikit-dikit kedinginan seperti waktu sebelum aku rutin olahraga. kalau dulu gampang kedinginan, sekarang lebih cenderung ke gampang kepanasan.
dan alhamdulillah sampe sekarang aku engga pernah merasa depresi setiap kali musim dingin tiba, meski sudah hampir 20 tahun lebih tinggal di eropa, jadi sudah ngalamin musim dingin 20 kali. secara medis aku paham kenapa orang bisa sampe depresi, tapi untungnya aku ngga pernah ngalamin itu meski aku engga antisipasi dengan melakukan hal apapun setiap musim dingin.
karena ini pula, aku engga harus berwisata ke negara lain untuk menghindari winter blues. malah irit kan?! mungkin karena aku kerja dan punya kesibukan ngurus anak dan suami juga. ngga berarti yang kena winter blues itu karena engga kerja ya, ada juga kok yang berkarir dan tetep kena winter blues. tapi bagiku pribadi, dengan rutin kerja kantoran dari senin-jumat, sangat membantuku untuk aktif beraktivitas dan sibuk berpikir. entah kalau ini cuma manjur di aku tapi ngga manjur di orang lain, aku ngga tau jawabnya.
yang pasti, tiap musim dingin, aku dan keluargaku melewatinya dengan asyik-asyik saja. rutinitas harian tetep jalan, dan di akhir tahun biasanya ambil cuti libur 2 minggu untuk peringatan nataru yang selalu kami habiskan di rumah saja. masuk tahun baru, ya balik lagi ke rutinitas kerja seperti biasa.
malah justru kalau musim dingin itu aku lebih seneng di dalam rumah, males keluar apalagi sampe travelling ke mana. effort banget gitu kayaknya, cuma karena pengin lihat matahari dan udara hangat doank. dasarnya memang ogah ngapa-ngapain kalau musim dingin, jadi kuhabiskan waktuku di siang yang pendek dengan kerja, dan malam yang panjang dengan tidur!
dan karena di rumah memang selalu nyaman dan hangat, aku engga pernah ngerasa masalah dengan kehadiran musim dingin yang kadang juga bersalju ini. apa mungkin karena dari kecil aku selalu seneng ngelihat salju dan punya impian pengin hidup di negeri bersalju, jadi aku ngerasa hepi-hepi saja melewati musim dingin di eropa setiap tahun? entahlah, bisa jadi.
***
3) biaya hidup
pov perantau:
kebanyakan perantau yang memutuskan untuk kembali ke tanah air mengutarakan kesimpulan mereka tentang tingginya biaya hidup di luar meski gajinya pun lebih banyak kalau dirupiahkan. tapi menurut mereka, itungannya masih engga sepadan, dan merekapun lalu berfikir serta mempertanyakan kenapa milih tinggal di negara yang biaya hidupnya mahal untuk kualitas hidup yang ngga sebanding?
nah ini, ngga sebandingnya kenapa?
dari yang ditulis di sosmed sih, ngga sebandingnya karena mereka ngerasa hidup di luar itu monoton. isinya kerja, kerja dan kerja terus kayak robot, trus duitnya abis untuk biaya hidup yang tinggi, dan kalaupun ada sisa selalu habis juga untuk dipakai mudik ke indonesia sering-sering bagi mereka yang selalu ngerasa homesick alias kangen tanah air. atau selalu dipake untuk jalan-jalan alias healing ke negara yang lebih hangat kalau di daerah tempat tinggalnya pas musim dingin, bagi yang punya masalah winter blues karena cuaca. ujung-ujungnya ngga pernah bisa nabung!
karena duit habis terus, jadi lebih susah untuk naikin tingkat kenyamanan hidup. jadinya ngerasa kok udah kerja keras bagai kuda tapi kualitas hidupnya kok ngga naik-naik, muter aja terus di titik itu. biarpun gaji bisa 5-10 kali lipat dibandingkan kalau kerja di indonesia di bidang yang sama, tapi kalau kebutuhan hidupnya bisa 10 kali lipat ujung-ujungnya sama juga, duit ngga ada sisa jadi stuck, maju engga mundur juga engga.
jadi ngapain diterusin kalau stuck, yekan?!
ya bener juga sih, kalau kualitas hidup udah mentok di satu titik, sementara engga ada upaya lain yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya, ya memang sebaiknya ambil keputusan drastis untuk merombak semuanya. salah satunya dengan memutuskan untuk mudik selamanya ke indonesia dan mulai dari nol lagi.
pov netizen:
rata-rata banyak yang kurang paham kenapa para perantau memutuskan pulang, sementara banyak postingan bertagar #kaburajadulu yang mengiming-imingi gaji besar kalau mau kerja di luar negeri. eh ini yang udah mapan di luar negeri kok malah balik? kayak ngga sinkron gitu kan, pusing deh pada 😁
pov ku:
sudah sering kubahas bedanya tinggal di luar negeri dengan penghasilan dollar, euro, atau poundsterling dibandingkan dengan pendapatan rupiah. betul dapet gajinya memang lebih gede kalau dirupiahkan tapi engga selalu berarti kalau duitnya lebih banyak itu pasti hidupnya lebih sejahtera. banyak faktor yang kudu dipertimbangkan untuk ngukur tingkat kesejahteraan orang-orang yang merantau ke luar negeri.
supaya ngga ngulang lagi, baca aja deh tulisan berjudul flexing gaji dan rupiah mentality ini.
***
4) tatanan hidup
pov perantau:
inilah yang membuat para perantau sebetulnya berat banget untuk balik ke tanah air. karena tatanan hidup di luar itu lebih rapi, sistemnya jalan, aturan jelas, dan semua orang diperlakukan sama di mata hukum, ngga cuma teori doank kayak di negeri konoha 😁
eh tapi engga semua juga sih, ada satu dua yang out of the box lho, yang ngerasa kalau di luar negeri itu terlalu banyak peraturan yang sulit dilanggar haha. ini mungkin bagi mereka-mereka yang di indonesia hidupnya terbiasa melanggar aturan ya, dikit-dikit nyogok, dikit-dikit lewat pintu belakang, dikit-dikit kubilangin bapakku pejabat lho! jadi pas di luar negeri ngga bisa gitu lagi, mereka jadi ngga betah hehe.
tapi sebagian besar yang lain ngga gitu kok. kebanyakan setuju kalau peraturan di luar meski ketat, tapi memudahkan segala urusan hidup. bagi para pekerja juga bisa dibilang lebih produktif, karena birokrasi apa aja sudah rapi, tertib administrasi, mau ngurus apa aja mudah dan dipermudah, tanpa bertele-tele.
meski gaji besar jadi pajak lebih tinggi dibanding indonesia, bedanya pajak di luar negeri itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat dengan layanan umum yang bagus seperti kesehatan, pendidikan dan fasilitas infrastruktur.
tapi di indonesia, meski pajak lebih rendah, tapi pemakaian pajak masih kurang efektif, banyak korupsi, pungutan liar atau pungli, sogok-menyogok, salam tempel dan lain-lain. di mana ada kesempatan korupsi, pasti dilakukan. kaget kan ngelihat oknum pengadilan siapa itu yang punya duit kertas disimpan di rumahnya sampe ratusan milyar jumlahnya? ya masih kek gitulah mental orang kita. mental korup masih merajalela dan sulit sekali diberantas.
ngritik doank sih gampang ya.
tapi ga usah sok suci atau sok kritik juga lah, kalau kita belum pernah berada di posisi mereka. apakah kita bisa berkata tidak ke iming-iming duit milyaran itu, atau kita lantang berkata tidak meski risikonya bakalan dimusuhi kanan kiri atas bawah depan belakang?! kalau belum pernah ngalami sendiri, ngga usah deh hipokrit. semua orang butuh duit, apalagi duit panas yang mudah didapat ya kan?! sikatttt, hajarrrrr, hantammm!
itu sarkas ya gais 😂
oh ya satu lagi, karena orang luar negeri itu cenderung individualistik ya, jadi orang-orang yang suka dengan semangat hidup gotong-royong ala indonesia biasanya ngga betah sih hidup di luar negeri. kayak ada yang hilang, gitu. semangat gotong-royong ini memang ngga ada di tatanan hidup negara-negara maju.
pov netizen:
rata-rata kebanyakan netizen indonesia yang sudah ngerasa muak dengan kehidupan di indonesia saat ini, di mana sebentar-sebentar tayang berita kalau koruptor ini itu ketangkep dengan duit milyaran. dikit-dikit tayang berita harga kebutuhan hidup merayap naik, angka pengangguran ikutan naik, kejahatan di mana-mana dan seterusnya. ya ngga nyalahin mereka kalau ngelihat gimana kehidupan di luar negeri yang jauh beda tatatannya dengan situasi di tanah air. makanya mereka ngga habis pikir, kok malah pada mau pulang itu kenapa sih. jadi pada kepo deh, sama postingan-postingan dengan topik serupa.
makanya biasanya postingan dengan topik ini jadi viral.
pov ku:
kalian pikir kenapa aku betah di luar negeri? salah satunya ya karena faktor tatanan hidup ini.
aku orangnya suka kerapian, dan suka aturan. jadi pusing kalau kudu apa-apa harus nyogok dulu baru kelar, ngurus ini itu kudu ngasih duit dulu baru jalan. padahal di aturan engga ada seperti itu. masyarakat kita itu ngga enakan, dikit-dikit uang terima kasih, dikit-dikit dimintai pungli, dikit-dikit salam tempel.
begitu tinggal di luar negeri dan semua kekonyolan tentang kebiasaan tatanan hidup orang indonesia itu lenyap ngga ada tak berbekas, rasanya hidup itu lega, bersih, nyaman, dan tenang.
engga perlu mikir ngga enakan kalau ngga ngasih salam tempellah, ngga kudu nggrundel kalau ngurus ini itu dimintai pungli, dan lain-lain. sumpah, ngidup tanpa pungli itu nyaman banget! hidup ngga digangguin preman-preman berkedok duit terima kasih itu lega banget. hidup di mana semua aturan ditegakkan, dan penegak hukumnya ngga bisa disuap itu menyenangkan banget. makanya ngga bakalan kayaknya aku bisa adaptasi untuk tinggal di indonesia lagi mengingat sudah senyaman ini hidup dengan tatanan birokrasi yang bersih dan rapi di luar negeri.
yang pada terpaksa pulang juga sebenernya bakalan males lagi sih ngadepin birokrasi indonesia. tapi mereka sepertinya kudu kompromi dan pasrah karena faktor lain yang sudah ngga bisa ditolerir lagi jadi terpaksa adaptasi lagi dengan semrawutnya birokrasi di tanah air.
bukan bermaksud ngejelekin ya, tapi emang jelek mau dibilang apa 😂
meskipun sudah ada usaha untuk memperbaiki, dan hal ini patut diapresiasi, tapi gebrakan-gebrakan bagus di indonesia itu sepertinya hangat-hangat tai ayam. mulai bagus sebentar, begitu lengah dikit dan pengawasannya kendor dikit, langsung sengaja dibikin ruwet lagi oleh oknum-oknum.
karena memang di tengah keruwetan akan lebih mudah untuk nyolong dan korupsi. jadi ya gitu deh, satunya nyoba narik ke kanan, lainnya nyoba narik ke kiri. maju dua langkah, mundur lagi tiga langkah, ngga kelar-kelar semrawutnya. ntar kalau ada yang niat menumpas semua mafia ini, langsung diserang rame-rame sampe ancur lebur. supaya mafia bisa beroperasi lagi dengan bebas, ngeruk duit rakyat. mau sampe kapan ke gini, gais?
udah bener kubilang mending tinggal di luar negeri kan yah?! yah?! yah?!
***
5) ikatan batin
pov perantau:
waduh, kalau ngebahas yang ini susah sih. pergi jauh dari orang-orang yang punya ikatan batin yang kuat dan berjarak puluhan ribu km jauhnya kalau mau ketemu, memang sangat berat. ngga heran banyak perantau yang merasa homesick parah sampe katanya sering nangis karena kangen keluarganya di tanah air. ada juga yang ngeluh sering ngerasa kesepian sampe uring-uringan sendiri.
meskipun di luar negeri mereka juga punya keluarga, tapi namanya pendatang itu lingkungan pergaulannya akan sangat terbatas sekali. apalagi masyarakat luar negeri itu cenderung individualistik dan tertutup, engga seterbuka orang indonesia. jadi para pendatang ngga akan langsung bisa merasa sebagai bagian dari sebuah komunitas dengan banyak teman dan kenalan.
faktor lain yang sering dikeluhkan adalah rasa kekeluargaan di masyarakat yang kurang. contohnya, di luar negeri itu kalau mau ketemuan harus janjian dulu jauh-jauh hari seperti pernah kubahas di sini. sementara di indonesia bisa kapan saja. semangat gotong royong orang indonesia juga kuat, di luar negeri meski segala bentuk charity atau badan amal itu ada, tapi sifatnya lebih resmi dan kurang kekeluargaan. jadi pendatang merasa lebih asing dan terkucil.
bagi mereka yang bekerja dan berkarir mungkin sedikit membantu dengan adanya kolega di kantor atau di tempat kerja lain bagi yang ngga punya kantor. tapi tetep beda dan ngga ada ikatan batin yang kuat seperti ikatan batin dengan keluarga dan teman-teman di indonesia.
suasana yang sangat jauh berbeda juga berpengaruh pada psikologi para perantau. mereka yang sangat terbiasa dan menikmati kehidupan ala indonesia, ada yang bilang kangen denger suara adzan tiap subuh lah, kangen dengan keramaian jalanan indonesia yang ngga pernah sepi lah, sekalinya hidup di luar negeri dan ngga ada semua itu, lalu hidup mereka terasa hampa.
di sinilah terkadang tembok pertahanan para perantau ini terpaksa jebol dan runtuh karena mereka ngga tahan dengan situasi berada sangat jauh dari orang-orang yang punya ikatan batin kuat dengan mereka. akhirnya satu-satunya solusi ya balik lagi ke indonesia, meski ngga tinggal satu kota dengan keluarga dekatnya, minimal sudah berada di satu negara. jadi keputusan mudik selamanya pun diambil.
pov netizen:
untuk faktor yang ini, kebanyakan netizen paham sih, kalau tinggal di luar negeri itu pastinya sering kangen tanah air. jadi kebanyakan mereka ikut bersimpati dan setuju kalau memang hidup sendirian di luar tanpa sanak saudara cuma suami dan keluarga sendiri itu sebetulnya cukup berat. jadi mereka maklum kalau ada yang mengeluhkan kondisi kesendirian dan kesepian ini.
pov ku:
sewaktu awal-awal merantau ke eropa, sebisa mungkin aku sudah nyiapin mental kalau bakalan sendirian hidup di luar negeri. waktu itu caraku mengatasi rasa kesepian adalah dengan membentuk pertemanan baru sebanyak-banyaknya. cara lain juga dengan menyibukkan diri dengan banyak hal baru termasuk belajar bahasa lokal sewaktu tinggal di hongaria, dan jalan-jalan keliling eropa pastinya. begitu pindah ke inggris, kesibukan nyelesaiin kuliah berhasil menyita waktu dan perhatianku, jadi ngga terlalu kangen tanah air juga. terlalu banyak hal baru yang menarik di luar negeri, menurutku. jadi agak heran kalau ada yang ngga betah dan selalu kangen pengin pulang sih.
mungkin beda situasi dan aktivitas, beda orang, beda perasaan, pastinya ya.
nah, apalagi setelah lulus kuliah dan langsung kerja, kesibukanku pun bertambah. kolega baru, tempat kerja baru, dan banyak hal lain di kerjaan yang kudu dipelajari. ini saja cukup untuk menyita waktu dan perhatianku untuk ngga mikirin indonesia. kebetahan ini berlanjut setelah ketemu suami, nikah dan punya anak! walhasil aku jadi jarang mudik deh karena sudah punya keluarga sendiri, hehe.
praktis sampe sekarang, sudah hampir 20 tahun merantau, mudikku ke indonesia bisa dihitung pakai jari! berangkat tahun 2005, mudik pertama kali pas habis lulus kuliah sebelum mulai kerja tahun 2007 #1. setelah itu mudik lagi 2009 #2 ngenalin calon suami. nikah tahun 2011 keluarga indonesia yang berangkat ke inggris, lalu tahun 2012 #3 baru mudik lagi setelah nikah. punya anak 2013 sibuk sama bayi ngga sempat pulang. baru pas anakku umur 4 tahun kuajak mudik pertama kali tahun 2017 #4! dan mudik terakhir setelah lewat masa covid pas udah tahun 2023 #5 yang lalu.
dalam tempo 20 tahun cuma mudik 5 kali, ajegile ngga cinta tanah air banget ini sih, haha 😂
apakah ini berarti ikatan batinku dengan keluargaku di indonesia kurang kuat ya?! bisa jadi sih. namanya banyak saudara dengan ortu yang dua-duanya sibuk kerja. aku pribadi cuma ngerasa tiba-tiba udah gede sendiri. sekolah, pulang main sama sodara sendiri besok sekolah lagi tau-tau merantau hehe. bukan potret keluarga cemara-lah. kangen sih pasti ya, tapi engga yang sampe nangis-nangis gitu. ya emang jarang nangis juga. sedih aja ngga bisa nangis apalagi ngga sedih.
***
6) kemandirian
pov perantau:
tinggal di luar negeri engga kayak di indonesia yang sumber daya manusia cenderung murah dan banyak banget jumlahnya. mereka-mereka yang terbiasa sejak lahir dilayani oleh asisten rumah tangga, biasanya agak syok dan kena gegar budaya ketika hidup di luar negeri. ya apalagi kalau bukan karena hidup di luar negeri engga ada yang pakai pembantu.
sebagian keluhan mereka yang ngga betah, ya karena semua urusan hidup di luar negeri kudu dikerjain sendiri. dari nyuci baju, setrika, masak, beberes rumah, nganter jemput anak sekolah, dan urusan tetek bengek harian lainnya. sementara kalau di indonesia kan banyak dukungan dari mana-mana. bisa punya asisten rumah tangga, punya sopir pribadi, tukang kebun, dan segala tukang-tukang yang lain. juga masih ada sanak keluarga atau tetangga yang kadang bisa dimintai tolong untuk bantu-bantu ini itu. pokoknya di indonesia itu tenaga kerja mudah didapat dan murah meriah. makanya mereka-mereka yang terbiasa ngga terlalu mandiri jadi kelimpungan ketika semua-mua di luar negeri kudu dikerjain sendiri.
meski banyak juga yang akhirnya berhasil beradaptasi, karena meski mandiri, banyak urusan hidup di luar yang sudah pakai mesin. cuci baju pake mesin, cuci piring juga sudah mesin. alat masak juga sudah banyak yang listrik, termasuk beberes rumah juga sudah ada robot vacuum cleaner. di indonesia juga ada sih alat-alat ini, tapi tetep yang ngerjain dan makai alatnya si asisten lagi kan ya 😁
yang gagal adaptasi biasanya merasa hidup mandiri tanpa asisten itu sangat sulit dan terlalu keras untuk dijalani. makanya ngga betah dan milih pulang saja. jumlahnya mungkin sedikit sih ya yang terpaksa pulang karena faktor ini semata. karena aku tahu cerita banyak teman indonesia yang dari kecil selalu dilayani pembantu, tapi pas tinggal di luar negeri jadi sangat mandiri dan belajar melakukan banyak hal sendiri. bahkan ada yang tadinya blas sama sekali ngga bisa masak, sekarang malah buka usaha jual makanan matang otentik rasa indonesia dan laris manis karena masakannya enak!
pov netizen:
meski udah banyak yang ngerti, tapi masih ada juga beberapa netizen yang belum paham kenapa di luar negeri itu engga ada asisten rumah tangga. yang mereka ngga habis pikir itu kenapa dengan hidup di luar dan gajinya mata uang asing yang nominalnya bisa jadi banyak kalau dirupiahin, tapi kok engga ada yang bisa bayar asisten? hehe. yang mereka belum tau mungkin karena di luar negeri itu engga ada orang yang mau jadi asisten rumah tangga karena di sini kaum miskinnya dikasih duit jaminan hidup oleh negara. jadi buat apa kerja kalau bisa hidup tanpa ngapa-ngapain.
makanya engga ada asisten rumah tangga. selain gaji minimalnya terlalu tinggi jadi engga ada yang kuat mbayar kecuali keluarga aristokrat, milyuner, dan kerajaan atau royal family, jarang banget ada keluarga yang pakai asisten rumah tangga. paling banter sih ngebayar cleaner atau tukang bersih-bersih yang datang buat beberes rumah doank trus pulang, atau ngebayar orang buat setrika doank. kalau layanan itu di sini banyak banget. yang makai biasanya mereka yang sibuk hidupnya dan ngga punya waktu buat ngerjain sendiri.
pov ku:
engga usah kutulis ulang kenapa aku ngga terlalu pusing dengan hidup dan tinggal di luar negeri dengan semua-mua kudu dikerjain sendiri. ya karena seumur hidup keluargaku di indonesia ngga pernah punya yang namanya pembantu rumah tangga, jadi sejak usia sd aku tuh udah dididik untuk terbiasa mandiri, ngerjain semuanya sendiri. topik ini sudah pernah kutulis di tulisan berjudul pembantu di tautan ini dan mental ndoro di tautan ini.
jadi untuk faktor ini juga aku no problemo.
***
7) pendidikan
pov perantau:
lho, katanya di luar negeri itu justru pendidikannya lebih bagus? iya betul sih, kalau dilihat dari sisi sistem pendidikan dan reputasi, memang pendidikan di negara maju lebih baik. tapi, pertimbangan yang diutarakan perantau-perantau yang memutuskan untuk mudik selamanya, adalah kurangnya pendidikan agama dan budi pekerti ketimuran di sini. ya memang bukan mayoritas muslim ya ngga mungkin lah ada pendidikan agama islam di sekolahan luar negeri.
hal ini dijadikan alasan bagi yang merasa pendidikan anak-anaknya ada yang kurang kalau diteruskan untuk hidup di luar negeri. ini bagi yang biasanya lebih mementingkan pendidikan berbasis agama ya. kalau yang santai aja dengan kurikulum standar ya oke-oke saja.
bahkan ada yang nambahin sendiri dengan ngirim anaknya ke kursus ngaji yang biasanya gurunya bisa dari kewarganegaraan apa aja, biasanya sih turki, pakistan, atau juga ada kok guru ngaji orang indonesia kalau kebetulan beruntung berdomisili di kota yang sama dengan guru ngajinya. biasanya yang lebih mementingkan pendidikan model ini adalah mereka yang suami istri keduanya adalah orang indonesia. meski ada juga yang kawin campur tapi sepertinya jarang.
pov netizen:
biasanya opininya terbelah dua. sebagian ada yang menyayangkan cuma karena ketiadaan kurikulum agama, perantau meninggalkan faktor positif lain dari sistem pendidikan di negara maju. udah enak-enak lho pendidikan gratis kok malah ditinggal, seputar itulah komen-komennya hehe.
sebagian lagi yang setuju dengan pentingnya pondasi moral, agama dan akhlak, akan mendukung keputusan untuk mudik ini. mereka percaya kalau pendidikan agama adalah modal awal dari kesuksesan seseorang untuk menjadi pribadi yang baik. menurut mereka lho ini, meski kita tahu itu bukanlah hal yang mutlak benarnya.
pov ku:
prinsipku cukup simpel dan sederhana sih. urusan theologi dan perjalanan spiritual tiap individu itu unik dan spesial. kalau untuk pembentukan watak dan kepribadian, meski kurikulum pendidikan di luar itu engga seperti di budaya timur, tapi di sini juga diajarkan kesopanan, tata krama dan disiplin kok.
memang budaya pengajarannya disesuaikan dengan adat istiadat setempat sih. tapi ya memang di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, jadi sebagai pendatang kita selayaknya ngikuti budaya dan adat istiadat lokal supaya bisa membaur dengan baik dan diterima masyarakat di mana kita berada. jangan memaksakan budaya sendiri yang orang lokal engga pernah tahu dan mungkin ngga bisa nerima.
kalau sebagai pendatang merasa kesulitan untuk beradaptasi dan mempraktikkan budaya lokal, ya memang ngga akan betah sih. gitu aja.
***
8) pertemanan
pov perantau:
pertemanan orang-orang di indonesia di luar negeri rata-rata kebanyakan toxic!
engga sekali dua kali keluhan seperti itu terdengar di jagat internet, entah di sosmed atau di platform lainnya. sudah reputasinya begitu sih dari dulu. entah kenapa ya, meski ada juga pertemanan indonesia yang sehat dan asyik, tapi jumlahnya bisa dihitung jari, alias ngga banyak. inilah yang sering disebutkan oleh mereka-mereka yang ngga betah hidup di luar dan pengin pulang saja.
sudah sulit nyari temen, eh sekalinya ketemu malah toxic ngga asyik.
yah, memang sulit banget sih nyari lingkar pertemanan yang cocok di luar negeri. alasan utamanya ya karena jumlah orang indonesianya ngga banyak. jadi akan sulit sekali menemukan yang benar-benar cocok dan ngerasa klop dalam segala hal. belum lagi jarak antar individu yang lumayan jauh satu sama lain. ada yang cocok tapi tinggalnya berjauhan. yang di dekat-dekat ngga ada yang klik. sulit memang kalau sudah ngebahas soal kecocokan!
masalahnya, kalau ada yang cocok lalu yang ngerasa ngga cocok ini nuduh yang lain sebagai toxic, dan sebaliknya. meski mungkin ketidakcocokan itu karena disebabkan oleh banyak hal lain. beda latar belakang lah, beda minat, beda karakter, atau beda budaya.
ya di antara sedikitnya jumlah orang indonesia yang hidup di luar negeri dan bersedia membuka diri untuk pertemanan, sangat sulit nyari yang bener-bener klop dan bisa nyambung kalau ngomong. butuh usaha lebih hidup di luar negeri untuk bisa ketemu dengan lingkar pertemanan yang asyik seperti halnya pas hidup di indonesia. bagi yang gagal, ya ini jadi faktor utama untuk ngambil keputusan pulang, selain faktor kesepian yang sudah dibahas di atas tadi.
pov netizen:
kata netizen, ke-toxic-an komunitas indonesia di luar itu bisa jadi karena banyak hal tapi salah satu diantaranya adalah karena beda status. ternyata banyak yang nikah sambung alias second marriage, katanya lho ini, aku sendiri ngga punya teman dengan status begini jadi malah ngga tau!
nah, katanya lagi nih, yang second marriage ini maunya cuma ngumpul ama yang second marriage juga, hihi. trus, kalau udah urusan sama arisan, udah deh, gada matinya, haha.
pov ku:
aku suka berteman, aku juga suka arisan. tapi setelah mengalaminya sendiri dengan berbagai macam tipe pertemanan dan berbagai undangan arisan di inggris sini, kuputuskan kalau aku engga begitu suka lagi 😅
pov ku singkat saja ya, alasan aku ngga ikutan arisan sudah pernah kutulis di tulisan berjudul arisan di sini.
***
kesimpulan
jadi apa nih kesimpulannya? apakah orang yang suka bersosialisasi pasti jadi ngga betah kalau kudu hidup di luar negeri yang cenderung individualistik? lalu apakah orang-orang yang ngga begitu suka sosialisasi alias kaum introvert pasti jadi betah di luar negeri? mungkin ada benarnya tapi ngga jaminan 100% polanya seperti itu. aku sebagai makhluk introvert level akut, memang kuakui bisa betah tinggal di luar negeri dengan begitu mudahnya tanpa ada halangan atau kendala yang berarti, apalagi yang sampe bikin aku pengin mudik melulu.
tapi kasusku bisa jadi unik dan ngga masuk pola secara umum.
yang lebih benar, mungkin kesimpulan kalau ngga ada negara yang sempurna. mau tinggal di manapun akan ada kekurangan dan kelebihan. kembali lagi ke selera dan disesuaikan dengan hati dan perasaan masing-masing perantau, cocoknya menetap di mana karena banyak sekali faktor-faktor yang menentukan betah atau ngga betahnya.
bagi para perantau yang merasa sudah mapan, dan bisa menemukan celah-celah kehidupan yang membuatnya betah tinggal di satu wilayah tertentu di luar negeri, ya pasti akan merasa tenteram dan nyaman hidupnya. sebaliknya, bagi mereka-mereka yang belum klik, belum ngerasa pas, belum menemukan kecocokan di tempat mereka tinggal saat ini dan merasa masih pengin explore atau mencari-cari kecocokan di tempat lain, ya pasti akan terus gelisah dan ingin pindah.
ada juga yang meski ngga betah, tapi dibetah-betahin dan mencoba bertahan sampe masuk usia pensiun, baru akan pulang ke indonesia dan pensiun di sana. karena masa tua di luar negeri itu memang sebagian besar akan berakhir di panti jompo, yang ngga cocok untuk semua orang meski saat ini justru hidup di panti di masa tua malah lagi hype di indonesia ya.
secara pribadi, aku juga ngga mau sih hidup di panti, topik kehidupan panti di inggris sudah pernah kutulis panjang lebar di sini. tapi kalau bisa tetap sehat dan bugar sampe usia tua dan mampu hidup mandiri kayaknya tetep milih di luar negeri deh, aminin donk hehe.
memang kadang rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau ya. kalau pas di luar negeri pengin pulang. yang masih di indonesia pada pengin ke luar negeri. ya karena pada dasarnya hidup itu sawang sinawang. orang selalu menginginkan yang orang lain punya, lupa pada apa yang sudah dimiliki sendiri.
ada juga yang bilang kalau hidup di indonesia itu enaknya cuma buat buka usaha, ngga cocok kalau buat karyawan karena gajinya kecil. sebaliknya kalau seneng jadi karyawan mending di luar negeri saja karena kalau mau buat usaha di luar negeri lebih sulit dan rumit aturannya, ngga segampang di indonesia. macem-macem lah kesimpulan pembahasan topik yang panjang ini.
pada akhirnya yang dibutuhkan mungkin lebih ke selalu open minded atau berpikiran terbuka kalau mau pindah negara. kalau pindah cuma karena desakan ekonomi dan mengabaikan hal-hal lain yang cukup penting untuk dipertimbangkan kalau tinggal di negara orang, bisa jadi buah simalakama di kemudian hari. ujung-ujungnya sih, hidup di manapun itu sama saja. ada yang betah setelah #kaburajadulu, dan ada juga yang akhirnya pindah lagi dan milih #pulangajadulu.
namanya juga hidup!
No comments:
Post a Comment