Monday 25 March 2013

juragan properti

warning: seperti biasa, tulisan ini panjang. tapi aku bagi jadi 3 bagian koq, jadi kalau capek baca, bagian selanjutnya bisa diterusin besok pagi....;-p

tergelitik oleh sebuah pernyataan dari seorang kawan di milis, yang mengatakan bahwa orang indonesia meski kerja di eropa akan mustahil untuk bisa membeli atau memiliki properti, aku jadi tertarik pengin membahas mengenai hal ini. kalimat utuhnya aku kutip seperti ini: "jangan terlalu berharap bisa punya rumah, apartemen kecil masih mungkin..."

tentu saja aku kurang setuju dengan pernyataan tersebut, karena faktanya aku orang indonesia dan aku kerja di eropa, dan aku sudah punya properti sendiri sejak 2010 meski belinya kudu nyicil, dan patungan sama suami :-)


tanpa bermaksud menyalahkan atau menggurui, mungkin pendapat tersebut sedikit banyak memang ada benarnya.

tapi meng-'klaim' bahwa orang indonesia tidak mungkin bisa memiliki rumah atau properti di eropa jelas tidak benar. kalau orang indonesia akan lebih sulit untuk memiliki properti di eropa dibandingkan orang lokal karena memang harganya yang berlipat ganda dibandingkan dengan harga properti di indonesia, aku masih bisa maklum deh.

jangankan orang indonesia di eropa, yang tinggal di indonesia dan sampai beranak pinak masih cuma bisa ngontrak dari satu rumah ke rumah yang lain (alias kontraktor abadi hehe) saja masih berjuta-juta jumlahnya. jadi bisa memiliki rumah atau properti sendiri memang tidak mudah dan perlu perencanaan keuangan yang baik dan benar sejak awal. ini kalau dilihat dari sudut pandang kaum pekerja atau karyawan biasa ya, yang tidak pakai acara korupsi atau tiba-tiba dapet warisan gedhe atau menang lotere trilyunan rupiah :-D

bagi mereka yang bisa beli rumah kontan ga pake nyicil dan ga perlu perencanaan keuangan jauh-jauh hari, entah duitnya halal atau haram #eh, entah harga rumahnya dari puluhan juta, ratusan juta, atau yang sampai milyar-milyaran, entah bayar kontannya pake duit korupsi kek, warisan kek, tabungan deposito kek, dikasih ortunya yang tajir kek, atau dari jual harta benda peninggalan nenek moyang mereka kek, ga usah kita bahas di sini yah.

yang aku pengin bahas adalah mengenai usaha memiliki properti, baik di indonesia maupun di luar negeri (eropa), dengan cara nyicil bulanan ke bank atau biasa disebut dengan KPR (kredit pemilikan rumah), atau kalau di-inggris-in disebutnya mortgage.

rumah atau properti berupa bangunan memang bukan barang murah, tapi sebenarnya bukan pula barang mewah.

kebutuhan untuk berteduh memang menjadi kebutuhan dasar manusia menurut fitrahnya. bagi mereka yang tidak mampu menjangkau harga properti yang layak huni, masih bisa berteduh di bawah alam, seperti tinggal di hutan di bawah pohon besar beratapkan jerami, atau berteduh di bawah jembatan berdinding karton-karton bekas. yang penting kan terlindung dari cuaca :-)

bagi mereka yang belum mampu memiliki properti sendiri, masih bisa berteduh di bawah properti orang lain dengan membayar biaya sewa per minggu atau per bulan. dan bagi mereka yang sudah mampu untuk mengantongi hak guna dan hak milik bangunan sendiri meski nyicil, barulah mereka kita sebut sebagai pemilik properti atau property owner.

semua orang pada akhirnya memang pengin menjadi pemilik properti, ya kan?

siapa sih yang mau ngontrak terus-menerus dari tahun ke tahun? siapa sih yang ga mau memiliki rumah sendiri? siapa sih yang ga pengin punya harta yang bisa diwariskan ke anak cucu nantinya, atau dijadikan tabungan untuk bekal hidup di hari tua setelah pensiun dan tak lagi mampu bekerja? pasti kita semua maunya menuju ke arah sana donk. jadi ga salah kalau aku katakan bahwa mempunyai rumah sendiri adalah impian semua orang.

ga di eropa ga di indonesia ga di kutub #halah, sampai ke kutub segala, harga properti memang mahal jika dilihat dari perbandingannya dengan pendapatan rata-rata penduduknya. tidak seperti harga mobil yang malah lebih mahal di indonesia dibandingkan harga mobil di eropa (aku pernah bahas di sini) padahal GDP indonesia lebih rendah, hal ini tidak berlaku dengan harga rumah atau harga properti (tanah, bangunan, dll). semakin maju atau tinggi standar biaya hidup di sebuah negara, harga properti ya semakin mahal.

tapi, jika kita memang bisa berjuang untuk mencapai taraf hidup yang lebih layak, mempunyai pekerjaan tetap dan berkomitmen tinggi untuk memiliki properti dengan melakukan perencanaan keuangan yang baik dan benar, hampir dipastikan kita bisa dan mampu untuk memiliki properti, di negara manapun kita tinggal.

masalah besar kecilnya ukuran properti, tinggi rendahnya harga, lokasinya dll sangat tergantung dengan tingkat kemampuan keuangan masing-masing orang yang tentu saja sangat bervariasi. tapi pada intinya mempunyai atau memiliki properti sendiri entah di mana pun di muka bumi ini, adalah hal yang biasa saja, wajar dan sangat mungkin dilakukan. tak ada hal yang mustahil kan :-)

karena aku cuma punya pengalaman membeli properti sekali, itupun di negeri di mana aku tinggal sekarang yaitu inggris, tulisan ini akan berdasarkan pengalamanku di inggris saja ya. ada sih sedikit pengetahuan umum mengenai properti di negara-negara lain di eropa meski ga detil, dan sedikit banyak tahu lah ya soal jual beli properti di indonesia yang mungkin akan terselip di dalam tulisan ini di sana sini, tapi akan kutulis sebagai pelengkap bahasan saja #daripada sok tau ntar malah salah hehe

proses memiliki properti di indonesia

kebanyakan teman-temanku dulu sewaktu aku masih kerja di bekasi, rata-rata mereka sudah mulai berkeluarga dan punya anak. biasanya para karyawan (pabrik) memang berasal dari ekonomi bawah-menengah yang berusaha untuk hidup mandiri setelah keluar dari rumah orang tuanya atau setelah lulus sekolah/kuliah. ada sih satu dua yang anaknya orang kaya, tapi ga usah dibahas di sini lah yah hehe. dan rata-rata para karyawan ini secara finansial memang boleh dikatakan merangkak dari bawah dengan mengandalkan penghasilan/gaji bulanan.

umumnya sih mereka mulai dengan menjadi kontraktor dulu, alias ngontrak tempat tinggal dan bayar bulanan ke ibu kotrakan atau ibu kos. aku juga dulu sewaktu kerja jadi buruh pabrik cuma mampu ngontrak rumah petak yang desainnya berjejer mirip barak tentara dan warnanya semua dicat sama itu, dengan bentuk bangunan yang mirip gedung sekolahan, panjannnnnggg atapnya, lalu disekat-sekat. kebayang kan? ;-p

kenapa waktu itu ga ngontrak rumah beneran saja di perumahan gitu? waktu itu sih mikirnya sayang duitnya mending dipakai buat nerusin kuliah sama kursus-kursus. aku mikir panjang soal masa depan, karena aku bertekad pengin mengubah nasib ga pengin tinggal di rumah petak terus-terusan jadi aku punya cita-cita nyari beasiswa, dan untuk itu perlu menyisihkan uang untuk biaya kursus dan sekolah lagi :-)

satu rumah petak biasanya ada terasnya meski kecil, lalu ruang tamu ukuran 2.5m x 2.5m-an lah, lalu ruang berikutnya adalah satu kamar tidur, dan bagian belakang biasa disekat dua untuk dapur super-mini (saking sempitnya), serta bak mandi kecil dan wc jongkok di pojokan. simpel, praktis, dan tentu saja sumpek, hehehe.

aku dah coba nyari contoh foto rumah petak yang jelek di internet tapi susah euy, nemunya malah yang kayak gini, kecakepan ini mah dibanding rumah petakku yang dulu di kawasan industri cikarang, di sekitar daerah tanah abang tepatnya ;-p


sementara bagi mereka yang lebih membutuhkan ruang yang cukup luas entah karena sudah menikah atau punya anak, biasanya mereka ngontrak rumah tipe kecil di perumahan. lebih manusiawi dikit lah ya daripada rumah petak kondisinya, ga sumpek-sumpek amat.

nah lambat laun, pelan-pelan dengan berjalannya waktu, tentunya impian untuk punya rumah sendiri ga pernah sirna donk dari pikiran para kontraktor ini. banyak sudah teman kerja yang aku kenal yang akhirnya memang mampu memiliki rumah tinggal sendiri meski kecil, dengan mengambil kredit pemilikan rumah dengan uang muka tertentu, lalu nyicil bayar tiap bulan ke bank dengan cara potong gaji.

aku sendiri entah kenapa waktu itu ga pernah kepikiran untuk ambil cicilan rumah seperti teman-teman kerjaku yang lain. aku mikirnya koq ga mau punya harta apa-apa dulu yang permanen dan bersifat mengikatku di satu tempat saja, jadi ga leluasa kan kalau kudu pindah (ke eropa misalnya ;-p).

hampir semua uang gajiku dulu habisnya buat bayar kuliah sama kursus, jadi ga pernah bisa nabung juga sih buat bayar uang muka seperti teman-teman kerjaku itu. kupikir, ah masih jomblo ini, kali aja ntar ditaksir pangeran kodok trus diajak pindah ke istana kan lumayan ga usah beli rumah sendiri, hihihi....

soal uang muka, memang ada tantangan tersendiri. biasanya bank atau developer perumahan sangat jarang memberikan kredit tanpa uang muka, meski besar kecilnya tentu sangat bervariasi. hal ini biasanya yang menyebabkan sebuah keluarga atau seseorang tidak cukup mampu untuk segera memiliki properti atas nama sendiri, karena mereka belum bisa mempunyai uang kontan sebanyak yang disyaratkan untuk mengambil kredit pemilikan rumah atau properti.

memang tidak semua orang berada pada kondisi finansial di mana mereka bisa menyisihkan sebagian kecil penghasilannya tiap bulan untuk ditabung. beberapa bahkan harus menutupi biaya kebutuhan hidup tiap bulan dengan cara berhutang, yang lalu dibayar bulan depannya dengan sistem gali lubang tutup lubang. ih, jadi inget masa-masa jaman susah dulu deh pas gaji bokap selalu minus tiap bulannya buat biaya hidup kami ber-delapan #hiks...

jika pengeluaran seseorang atau sebuah keluarga selalu lebih besar dari pendapatan (meski dalam hal ini pengeluaran tidak selalu berarti foya-foya, kadang untuk memenuhi yang dasar-dasar saja masih kurang), ya mau  tak mau lubang hutang tersebut bukannya semakin kecil dan akhirnya lunas tuntas, tapi malah semakin besar dan hutangnya semakin banyak.

perlu sikap hidup yang lebih bijaksana dalam melakukan pengeluaran atau belanja kebutuhan hidup sehari-hari kalau sudah berada pada situasi seperti ini. tapi tentunya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan yah. banyak orang yang hidupnya terjerat hutang lho sampai hari tua, mudah-mudahan kita tidak termasuk di dalamnya, amien :-)

jadi asal kita punya cukup tabungan untuk bayar uang muka, sebenarnya proses untuk memiliki properti pertama kali sih lumayan simpel ya di indonesia. paling untuk bisa diloloskan aplikasi KPR cuma butuh uang kontan yang disyaratkan oleh bank atau developer sebagai DP (down payment) atau ada juga yang menyebutnya tanda jadi, lalu perlu KTP, slip gaji bulanan untuk membuktikan kalau kita bakal mampu membayar cicilan bulanan ke bank, kartu keluarga, gitu-gitu kan yah, ga ribet-ribet amat juga kayaknya.

kata adikku, lama waktu nyicilnya bervariasi ya, ada yang 10, ada yang 15 tahun atau lebih? yang pasti, butuh waktu sampe tahunan lah, ga akan selesai dalam hitungan bulan doank, emang rumah siput hehehe.

rumah tipe 36/60

setelah keluarga dan pekerjaan tambah mapan, baru deh biasanya rumah/properti pertama ini kita jual atau oper kredit ke orang lain, lalu ambil kredit lagi ke tipe rumah yang agak besar. kalau ga, biasanya rumah tipe kecil tadi dimodifikasi, dibangun ulang, atau direnovasi dengan memanfaatkan lahan yang tersisa, bahkan terkadang sampai ruang hijau atau lahan untuk kebunnya dihabiskan buat nambah ruangan atau ditingkat ke atas.

apalagi kalau anggota keluarganya bertambah banyak dan rumah sudah mulai terasa sumpek, bisa-bisa teras atau garasi juga disulap jadi kamar tidur :-D

proses memiliki properti di inggris (atau eropa)

lain halnya dengan upaya untuk memiliki properti di indonesia, memiliki properti di luar negeri jelas agak berbeda tantangannya. meski prosesnya secara garis besar kurang lebih sama, tetapi latar belakang kemampuan finansial, perbedaan mata uang, persyaratan bank dan jangka waktu pelunasan yang berbeda, seringkali menjadi momok bagi para (imigran) pemula yang belum pernah memiliki properti di luar negeri sebelumnya.

bagaimana dengan orang indonesia yang seringkali kita dengar memiliki banyak properti di negara tetangga seperti singapura dan malaysia? wahhh, kalau mereka sih tidak perlu masuk dalam pembahasan di sini lah ya.

entah mereka memang jadi konglomerat yang asetnya trilyunan karena hasil berbisnis ala taipun mafia hongkong, atau para elit pejabat yang entah darimana asal hartanya tapi ujug-ujug rekeningnya gendut ga kira-kira, haram halalnya ga jelas, hingga mampu beli-beli properti di singapura yang notabene muahalnya naujubileeeee.... (bahkan untuk para expatriat eropa sekalipun yang hidup di singapura). mereka-mereka ini kita kecualikan dari bahasan postingan ini saja yah, daripada bikin sumpek :-p

yang aku mau bahas adalah para pekerja kelas bawah menengah yang memang berjuang di luar negeri, yang bekerja entah di sektor tertentu atau berbisnis skala kecil menengah, yang hanya  mengandalkan penghasilan bulanan dan berusaha untuk memiliki properti sendiri di luar indonesia. perjuangannya tentu agak beda dengan mereka yang pengin memiliki properti sendiri tapi di dalam negeri seperti sudah kubahas di atas tadi.

dan seperti sudah kusebut, sudut pandangku menulis postingan ini adalah berdasarkan pengalamanku memiliki properti di negara inggris pada khususnya atau di eropa pada umumnya.

memang secara umum, harga properti di eropa pastinya mahal, lebih mahal dari rata-rata harga properti di negara-negara berkembang. tapi kalau dilihat dari sudut pandang pendapatan per kapita, ya tentunya berimbang juga. menjadi pekerja di negara maju tentu pendapatannya akan jauh di atas pekerja di negara berkembang donk, dengan catatan jenis pekerjaannya serupa ya, jangan ngebandingin gaji manager sama tukang sapu jalanan :-)

namun meski demikian, yang menjadi masalah terbesar rata-rata para imigran dari negara berkembang yang mengadu nasib di negara maju untuk memiliki properti sendiri adalah mentalitas mereka terhadap tingkat kesejahteraan hidup.

kaum imigran di negara maju yang sebagian besar memang berasal dari negara yang lebih miskin secara GDP ini kebanyakan selalu merasa 'sudah cukup puas' dengan apa yang mereka peroleh karena mereka selalu membandingkan taraf hidup mereka di negara maju di mana mereka tinggal dan mencari nafkah sekarang, dengan taraf hidup mereka sebelumnya di negerinya sendiri.

hal ini kusebut sebagai kesalahan fatal cara berpikir atau mentalitas ;-p

mereka lupa, bahwa untuk mencapai taraf hidup yang layak di negara maju, mereka harusnya membandingkan taraf hidup mereka sendiri dengan orang lokal setempat yang mempunyai latar belakang kurang lebih sama baik dari segi pendidikan, gaya hidup, jumlah keluarga dan jenis ketrampilan atau kemampuan kerja di bidang tertentu. aku pernah sedikit bahas mengenai mentalitas ini di tulisan terdahulu berjudul rupiah mentality.

kesalahan fatal dalam pembandingan taraf hidup inilah yang seringkali menjadi penyebab utama mengapa para imigran dari negara berkembang yang menjadi expatriat di negara maju seringkali merasa kesulitan mengubah pola pikir, salah satunya dalam hal upaya untuk memiliki properti sendiri. sebagai pendatang, mereka terpatri pada pemikiran bahwa mereka takkan pernah mampu mempunyai apa yang orang lokal punyai, seperti kutipan dari temanku yang aku tulis di paragraf pertama di atas.

menurut pengamatanku, sebagian (tentunya tidak semua) expatriat indonesia atau dari negara berkembang lain yang berkarya di negara maju mempunyai kecenderungan menjadi seorang pesimis atau kurang percaya diri dalam upayanya menyejajarkan diri dengan taraf hidup atau kesejahteraan orang lokal. pesimis kok dipiara, hehe #dikeplak

entah ini akibat dari mental warga negara berkembang yang kebanyakan adalah bekas jajahan masa kolonial yang cenderung melihat orang eropa/kulit putih sebagai ras yang lebih tinggi dan lebih segalanya hingga kita merasa kerdil dan kurang mampu seperti mereka, atau karena alasan lain aku tak tau.

yang pasti, sikap hidup kita sehari-hari dan bahasa tubuh kita seringkali memang masih mencerminkan hal tersebut, ya kan? lihat saja bagaimana bule-bule selalu kita perlakukan bak raja ketika mereka berkunjung ke negara berkembang :-p mungkin hal inilah yang juga mendasari kepesimisan para expatriat dari negara berkembang dalam upaya memiliki properti sendiri di negara maju.

benarkah selalu demikian? tidak juga sih sebenarnya. ada beberapa bukti nyata yang bisa aku tunjukkan.

aku punya beberapa kenalan orang indonesia yang bekerja di inggris, berkeluarga, ada yang istrinya juga bekerja ada yang menjadi ibu rumah tangga, dan mereka sudah mempunyai rumah sendiri meski dengan cara nyicil bulanan ke bank alias ambil KPR.

taraf hidup mereka juga lumayan seperti orang lokal kebanyakan di sini, artinya cukup makmur lah. punya mobil bagus, rumah bagus dan kehidupan yang mapan. aku sendiri juga sudah punya rumah meski belinya patungan berdua dengan suami, dan tentunya dengan nyicil KPR juga, emang dapet duit korupsi dari mana, hehe.

jadi kalau memang kita sebagai expatriat punya pekerjaan tetap dengan gaji bulanan yang cukup, pengeluaran berimbang, perencanaan keuangan yang baik, kupikir ujung-ujungnya toh sama saja kan dengan para pekerja atau karyawan lain di indonesia yang juga ngantor tiap hari, gajian tiap bulan dan bayar cicilan rumah ke bank bertahun-tahun. bedanya cuma pada jenis mata uangnya saja. ya kan?

lalu mengapa masih ada juga para expatriat indonesia yang merasa pesimis melihat potensi dirinya sendiri dalam upaya menyejajarkan diri dengan taraf kehidupan orang lokal di sebuah negara maju?

menurutku sih karena rupiah mentality tadi. ini opini pribadiku lho ya. kebanyakan mungkin mereka ini sudah merasa gajinya besar kalau dirupiahkan, jadi tidak berusaha mencoba menggapai karir yang lebih tinggi lagi karena sudah merasa gajinya cukup lumayan, (sekali lagi) kalau dirupiahkan.

padahal menurut standar hidup lokal di negeri di mana mereka tinggal sehari-hari, orang-orang ini bisa disebut hidupnya masih pas-pasan. lha rumah sendiri saja belum bisa kebeli koq, masih jadi kontraktor tiap bulan hehe.

ini dari hasil pengamatanku saja sih... bukan dari data statistik resmi.

selain masih banyak yang belum bisa punya rumah sendiri, ada juga yang sudah punya rumah tapi kecil sekali dan sumpek.

banyak juga yang belum mampu miara mobil (kusebut miara karena kalau cuma buat beli sih harganya murah sekali, miaranya yang mahal, baca postingan harga mobil), dan banyak yang masih mengais rejeki dari bekerja di sektor informal dengan gaji yang dihitung per jam dan tanpa ada benefit lainnya dari tempat bekerja (contohnya kerja di restoran, atau jadi tenaga kebersihan, atau pelayanan publik sementara dll).

eits, jangan salah paham dulu!

sama sekali ga ada salahnya koq kerja di sektor informal, asal memang sesuai dengan ketrampilan dan latar belakang pendidikannya. tapi kalau ada saja yang masih kerja informal karena 'terpaksa' cuma untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan tinggal di luar negeri (supaya keren gituh... atau karena malu pulang kampung :-) dan ga bisa (atau belum bisa) mendapatkan kerja di sektor formal padahal punya ijasah pendidikan tinggi, ya kaeknya koq kurang pas gitu lho... maksudku.

kalau di indonesia memangnya ada sarjana S1, S2 atau doktoral yang mau kerja jadi office-boy?

ga (jarang) ada kan? di sini banyak! meski bukan semua orang indonesia ya, yang pasti mereka imigran. karena mereka berpikirnya (mungkin) dengan jadi office-boy saja gaji yang diperoleh bisa untuk bertahan hidup koq, dan nominalnya (bagi yang berasal dari indonesia) sudah lumayan besar, kalau dirupiahkan! jadi buat apa 'susah-susah' cari kerja beneran dan kudu bersaing dengan tenaga kerja lokal?

lagipula, kan rejeki dan nasib itu udah ada yang ngatur...

iya sih, tapi menurutku nasib tetep bisa diubah kalau kita mau berusaha lebih keras lagi. kalau males berusaha atau cepat menyerah mah, ya di situ-situ saja ga bakal maju-maju.

ngomong doank sih gampang ya #dilempar piring

o ya, masih dari hasil pengamatanku, cukup banyak juga warga indonesia yang dari luar kelihatan keren dan mentereng karena tinggal di luar negeri, tapi sebenarnya kalau dilihat kehidupan rumah tangga mereka ya rata-rata saja sih, alias pas-pasan bahkan ada yang cenderung 'kurang mampu' dibandingkan dengan orang-orang lokal.

padahal kalau bisa mah pendatang atau imigran itu kudunya lebih sukses dari orang lokal kan yah, seperti contohnya para pendatang yang beretnis tionghoa, india atau berkulit putih di indonesia (yang sukses), seperti pernah aku bahas di postingan berjudul perantau gigih :-)

okeh, kembali ke masalah kepemilikan properti...

bagi mereka expatriat indonesia yang mentalitasnya sudah down duluan untuk berupaya memiliki properti sendiri, sepertinya juga sia-sia sih merubah cara atau pola pikir mereka karena ambisi, niat dan keinginan kuat untuk mempunyai sesuatu yang lebih itu memang harus datang dari dalam diri terlebih dulu. kalau niat dan tekadnya kurang kuat, ya susah mau diubah cara pandangnya juga.

tapi bagi mereka yang memang berambisi lebih, mau berpacu melawan ketidakmampuan dan kekurangan sebagai pendatang dari negara berkembang yang harus bersaing melawan orang-orang lokal di negara maju, tidak mustahil sepertinya untuk menikmati kehidupan yang layak sejajar dengan tingkat kesejahteraan orang-orang lokal, atau bahkan beberapa bisa malah lebih makmur atau lebih sukses dibanding orang-orang lokal.

bahkan, beberapa pendatang (imigran) yang hidup di inggris dan tadinya juga 'miskin' karena  berasal dari negara berkembang ada yang bisa sampai jadi juragan properti lho!

artinya mereka memiliki banyak sekali properti yang mereka kelola sebagai bisnis untuk disewakan, bahkan beberapa penyewa justru orang lokal. keren kan? aku akan cerita ini di sesi terpisah bawah...

lalu kapan waktu yang tepat untuk membeli properti di luar negeri?

nunggu harga turun? nunggu uang muka siap? atau nunggu kaya dulu? hehe... ga ada jawaban pastinya sih. yang pasti di eropa pas resesi ekonomi melanda tahun 2008 lalu, harga jual dan nilai properti sempat turun drastis sampai titik terendah, dan banyak properti yang dilego murah.

itu adalah waktu yang tepat untuk beli (sebenarnya), asal situasi memungkinkan ya, alias punya uang muka dan sudah siap nyicil. para developer waktu itu juga desperate sih buat jual rumah yang mereka bangun sebelum resesi, karena kalau ga kejual kan investasi mereka juga mentok ga gerak, padahal bayar kredit ke bank kudu jalan terus, bisa terancam bangkrut deh usahanya.

tapi karena semua orang pas resesi kesulitan keuangan juga, meski properti murah juga siapa yang mampu beli? di mana-mana orang kehilangan pekerjaan dan kena phk (termasuk aku waktu itu), orang juga ga mau ambil resiko beli properti donk. jadi pasar properti antara 2008-2010-an cukup sepi. yang banting harga banyak, yang mampu beli ga ada. kecuali ada yang menang lotere trilyunan, langsung deh borong rumah ;-p #itu juga aku bisa

lucunya pas pasar properti di eropa anjlok 3 tahun kemarin itu, pasar properti di asia justru naik. cuma ya kalau sehari-harinya hidup di eropa ngapain beli rumahnya di asia, kaek kebanyakan duit aja hehe. kecuali kalau niatnya dibisnis-in ya, itu sih laen lagi urusannya. ga usah dibahassss :-p

proses membeli properti di luar negeri (terutama inggris) juga simpel, kurang lebih sama dengan proses di indonesia.

siap uang muka, siap persetujuan KPR dari bank, nyari rumah yang mau dibeli, lihat-lihat rumahnya dulu (meski kalau di indonesia banyak developer yang minta kita teken tanda jadi padahal pondasi rumah aja belum nancep!), lalu tawar-menawar harga (ga tau di indonesia bisa ga sih harga ditawar? kaeknya justru malah seringnya 'diancem' rayuan maut mulut sales-nya "kalau ga teken tanda jadi hari ini minggu depan harga naek lho jenggggg"....hihihi) #salesnya minta ditampol

di inggris sih harga bisa dinego meski rumah masih gress (asik kan), lalu deal soal harga, lalu hubungi kuasa hukum yang akan ngurus segala tetek bengek dokumen yang diperlukan (di indo kaeknya urusan gini kita urus sendiri deh ya), lalu akad nikah... eh akad kredit hehe, kalau ga ada masalah dengan dokumen dan status hukum pihak penjual dan pembeli (tugas kuasa hukum untuk ngecek hal ini), langsung dapet kunci deh!

selanjutnya, pindahan :-)

menurut beberapa temanku yang tinggal di eropa daratan, waktu dia cerita tentang jual beli rumah juga mirip-mirip sih. beda-beda dikitnya biasanya cuma pada aturan hukum masing-masing wilayah saja.

jangankan wilayah hukum inggris dan negara eropa lain, sama-sama di united kingdom aja kalau beli properti di england sama di skotlandia udah ada beda aturan hukum. detilnya sih ga gitu penting buat dibahas di sini. paling ya meyangkut pasal-pasal perjanjian jual beli gitu lhoh.. ga penting kan? hihi....kalau proses dasarnya mah kaeknya di mana-mana juga hampir sama sih ya.

soal harga properti yang bisa dinego, mungkin kalian heran, koq bisa ya. aku cerita dikit nih soal rumahku.

sejak resesi ekonomi 2008 yang sudah aku tulis di atas itu, harga properti di eropa khususnya emang lagi turun. cuma orang juga ragu untuk beli karena takutnya harga akan lebih rendah lagi. bisa gigit jari atuh kalau udah terlanjur bayar harga tinggi.

jadi waktu kami akhirnya nekat memutuskan untuk beli rumah tahun 2010 itu (setelah aku resmi dilamar dan kami berdua sibuk merencanakan pesta pernikahan yang memakan waktu hampir 1 tahun termasuk beli rumah, ngisi furnitur dan ngerancang baju pengantin!), kami emang lagi mujur karena justru pas harga properti lagi rendah-rendahnya. setelah itu malah ekonomi membaik pelan-pelan dan harga properti mulai merayap naik :-)

nah, karena situasi ekonomi yang ga jelas sampai tahun 2010-an tersebut, kami malah bisa nego harga lho, dan akhirnya dapet diskon karena rumah kami itu sudah dipasarkan selama hampir satu tahun lebih sejak tancap pondasi, tapi belum ada yang beli.

maka kami ada pada posisi yang bagus dan kuat untuk nawar harga ke developer-nya. selain itu, kami juga udah siap duit deposit kontan dan KPR sudah disetujui bank. jadi kami dengan 'semena-mena' akhirnya bisa minta developer buat nurunin harga yang oleh mereka 'terpaksa' dikabulkan daripada investasi bisnis mereka mandeg.

tadinya sih pihak developer juga ngeyel ga mau harganya turun karena emang udah standar segitu. bahkan rumah yang sama persis yang dibangun di depan rumah kami udah kejual dengan harga lebih tinggi lagi (yang ketuker bayar tagihan air kemarin ituh, baca bumil 16), karena mereka belinya sebelum harga properti meluncur tajam ke bawah.

pihak developer juga sempat 'nakut-nakutin' -biasa, jurus salesman- kalau ga mau harga segitu ya udah, masih ada peminat lain katanya. kami sih digertak gitu ga takut, meski aku sih dalam hati sempat ciut nyali juga karena terlanjur 'jatuh cinta pada kunjungan pertama' dengan rumah kami ini, jadi takut kebeli orang lain ajah! untung suami masih mikir pakai kepala, ga pake hati kayak aku, jadi kami acting cool aja, ga pake panik hihihi.

dan akhirnya kami yang menang! horeeee


setelah melewati negosiasi alot dan kami memakai jurus ngeyel, harga akhirnya bisa kami getok turun sampai 180jt-an lho dari harga awal, hihi - iya bener, turun seratus delapan puluh juta dari keseluruhan harga awal properti yang tentunya angkanya kalian ga usah tau lah ya, kebanyakan nol kalau dirupiahin :-p 

tapi jangan lupa, ini harga properti di eropa lho ya bukan di asia. jurus ampuh kami sih sebenernya karena rumah meski sudah berdiri kokoh dan 'jadi' tapi belum bisa langsung dihuni karena dalamnya masih perlu finishing yang bisa makan waktu  satu bulan-an kira-kira.

di sini kalau rumah baru emang ga dirampungkan sampai siap huni, karena biasanya pihak pembeli masih harus memilih warna cat, jenis kitchen-set, jenis ubin kamar  mandi, lalu masih kudu milih lantainya mau dikarpet, atau ganti ubin, atau mau dipasang lantai kayu dll. standar harga sih biasanya dapet karpet (karena karpet pilihan termurah). kalau mau diubin kudu bayar selisih harga lagi, apalagi kalau mau lantai kayu (meski pilihan termahal, akhirnya kami milih ini sekalian investasi :-p).

lain halnya kalau di indo kan beli rumah baru udah dicat dan diubin suka-suka yang ngebangun yah, ga peduli bakalnya si pembeli suka apa ga. karena itu banyak kan yang langsung dibongkar lagi sama pemiliknya begitu rumah dibeli, karena ga cocok seleranya hihihi.

nah, karena si developer maunya jual buru-buru dan pengin nyedot uang kami di bank secepatnya tapi mereka masih butuh 1 bulan (atau lebih) buat finishing di mana rumah ga langsung bisa siap huni, akhirnya hal itu kami jadikan jurus buat ngegetok harga supaya turun, dan berhasil :-) gara-gara developer yang maunya proses jual beli ini berlangsung cepat-cepat juga, prosesnya secara hukum jadi ga makan waktu lama seperti yang normalnya terjadi di inggris sini.

rata-rata (kata orang-orang), beli rumah memang bisa makan waktu sekitar satu bulanan (biasa developer sambil ngerjain proses finishing), karena pihak kuasa hukum masing-masing kudu ngecek ini itu dan pihak bank masih perlu survei ini itu dulu, macem-macem lah pokoknya.

eh... rupanya pas kasus kami terjadi pengecualian. karena pihak developer sudah 'sakaratul maut' ga tahan pengin jual itu properti ke kami dan pengin duit kami di bank segera ditransfer secepat mungkin ke rekening mereka, maka seluruh proses yang biasanya makan waktu sebulan itu disulap menjadi 2-3 hari saja! #tuh kan, apa-apa itu kalau emang niat sebenernya bisa dikerjain dengan cepet sih ya hihi

bahkan waktu selesai akad kredit di kantor kuasa hukum tanda tangan ini itu yang selesai sekitaran jam 1 siang dan lalu biasanya akan disuruh pulang dulu untuk dikabari lagi kapan bisa ambil kunci, hari itu kami cuma disuruh nunggu 2 jam-an doank (kami malah nongkrong di starbuck sambil ngopi!), eh, jam 3-nya udah ditelpon disuruh ambil kunci rumah :-D

dasar developer mata duitan! hihi....

bagusnya sih mereka pegang janji, dan memang nyelesaiin finishing kurang lebih sebulan setelah akad kredit itu, sebagai bagian dari deal kenapa kami dikasih diskon gedhe pas nawar harga dulu, yaitu duit kami mereka ambil dulu di muka, baru mereka nyelesaiin kerjaan sesudahnya. normalnya sih dalam tempo sebulan sejak deal harga, duit pembayaran baru ditransfer di akhir bulan setelah kerjaan finishing selesai.

tapi karena diskon gedhe 180 juta itu, duit deposit kami di bank melayang dari rekening sebulan lebih awal hehe.

ya ga masalah juga sih, ilang bunga bank sebulan tapi total KPR yang kudu dicicil jadi berkurang 180 juta kan, lumayan banget ituh. dan untungnya mereka developer baik-baik dan reputasinya bagus jadi ga nilep duit orang trus kabur gitu aja ga ngerjain finishing-nya (di inggris ada juga lho yang begitu, namanya manusia jahat mah di mana-mana tetep ada hehe). tapi tetep berasa lega juga pas finishing rumah akhirnya selesai seperti yang kami harapkan, phew!

itulah cerita seru proses jual beli rumahku yang pertama dan satu-satunya hartaku yang bisa kubanggakan, hihihi.

buat suami, rumah kami adalah propertinya yang kedua karena dari sebelum kenal aku dia dah punya apartemen sendiri. sampai sekarang masih dipiara sih ga dijual tapi disewain. dulu pas kami beli rumah berdua sih suami ngebet pengin jual apartmennya biar ga pusing mikirin dua properti katanya. untungnya aku akhirnya berhasil ngebujuk dan meyakinkan dia supaya apartemennya jangan dijual, sayang kan mending dipiara aja biar bisa jadi juragan properti hihihi.

nah, sekarang waktunya cerita nih gimana tuh para imigran dari negara berkembang koq bisa jadi juragan properti di negara maju :-p

kisah imigran jadi juragan properti

sebenarnya konsepnya sih sederhana dan cuma membutuhkan itung-itungan matematika tingkat SD. ga pakai rumit atau sulit dimengerti.

seperti contohnya apartemen suami yang akhirnya kami 'piara' dan tidak jadi dijual itu, beban finansial untuk memelihara properti yang disewakan di inggris sini sebenarnya tidak begitu berat. itung-itungannya kurang lebihnya seperti ini:

misalnya: jika seseorang memiliki sebuah apartemen dengan 2 kamar tidur dan setiap bulan kudu nyicil KPR sebesar 10 juta (cuma contoh nih ya), jika ia ingin menyewakan apartemen tersebut dan pindah ke tempat lain, maka harga sewanya per bulan bisa mencapai kurang lebihnya sama dengan cicilan KPR tadi, yaitu bisa antara 9-11 jutaan (memang di beberapa wilayah, kadang-kadang harga sewa properti di inggris bisa lebih tinggi daripada harga cicilan bulanannya).

di indonesia sih sepertinya konsep ini tidak bisa berjalan, karena setelah diskusi dengan adikku beberapa hari yang lalu, ternyata harga sewa rumah yang cicilannya bisa 5-8 juta sebulan saja, cuma laku disewakan sampai maksimal 2 juta per bulan. ga bakal bisa buat nutup KPR-nya atuh ya? hehehe....

balik lagi ke konsep di inggris....

nah sebenarnya konsepnya kan cuma, kita yang punya properti tapi cicilan bulanan ke bank-nya yang bayarin orang lain atau si penyewa kan? lalu nanti ujung-ujungnya properti itu tetap milik kita. jadi kalau KPR udah lunas setelah nyicil selama 20-25 tahun, kita bisa jual. apa ga enak tuh? hihihi.

o ya, di sini cicilan terpendek memang 20 tahun, tidak seperti di indonesia yang bisa milih cuma 10 tahun kalau ga salah yah :-p ini juga salah satu yang kudu dipertimbangkan kalau status keimigrasian kita sebagai expatriat masih belum permanen, memiliki properti di luar negeri yang perlu komitmen seumur hidup bisa jadi agak-agak susah. kan ga lucu baru beli rumah eh, masa berlaku visa-nya habis dan ga bisa diperpanjang lagi ;-p

kalaupun harga sewa lebih rendah dari harga cicilan bulanan, paling si pemilik properti cuma perlu menutup kekurangan dengan nambahin atau nombokin cicilan tiap bulan yang notabene ga gitu gedhe selisihnya dengan harga sewa tadi.

resiko utamanya sih, kalau propertinya kosong alias ga ada yang nyewa, baru deh si pemilik tetap harus bertanggung jawab membayar cicilan ke bank! itu yang berat, karena beban finansial bulanan jadi bengkak berlipat-lipat. jadi kudu punya back-up tabungan juga kalau-kalau properti yang disewakan kosong alias belum laku lagi sejak penyewa terakhir angkat kaki bagi para 'juragan properti' yang memiliki rumah lebih dari satu.

itulah yang membuat suamiku dulu 'rada-rada' ngeri untuk miara properti pertamanya dan bermaksud untuk menjualnya, yaitu kekhawatiran kalau ga ada yang nyewa.

tapi untunglah sampai sejauh ini masih aman-aman saja, setiap kali penyewa lama angkat kaki, tak lama setelah itu selalu ada penyewa baru yang masuk dan berminat. mudah-mudahan ke depannya tetap lancar jaya, amien....

lhah, kalau emang semudah itu, kenapa orang-orang ga rebutan jadi juragan properti saja kalau begitu, beli rumah banyak-banyak lalu disewakan? kenapa masih ada saja (banyak) orang yang tidak bisa memiliki rumah sendiri dan masih jadi kontraktor? toh yang bayar cicilan KPR-nya tiap bulan malah orang lain yang nyewa kan? sementara si pemilik tinggal ongkang-ongkang kaki doank, namanya juga juragan :-p

karena....

ada satu hal penting yang ga semua orang bisa dan mampu untuk menjadi juragan properti, yaitu apalagi kalau bukan soal kemampuan finansial!

untuk membeli sebuah properti, kan jelas-jelas butuh uang muka. itu yang semua orang ga punya atau mampu. uang muka properti di eropa juga sudah bukan itungan jutaan lagi, udah ratusan juta atau milyaran kalau kena yang persentase tinggi karena sesuatu dan lain hal, misalnya status hukum atau keimigrasian, dll.

kami dulu kena uang muka 20% hanya gara-gara aku bukan warga inggris asli, tapi ber-paspor indonesia!

kalau ga punya uang kontan sebesar itu, ya mana bisa beli properti pertama, apalagi beli yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya untuk disewakan dan jadi juragan properti! ya ga mungkin lah ya.

kalaupun memang mampu dan bisa punya uang muka, toh pihak bank tidak serta merta meloloskan aplikasi KPR kita untuk memiliki properti kedua, ketiga dan selanjutnya, karena masih ada lagi tantangan berikutnya yaitu "status kredit" kita bagaimana.

lain halnya di indonesia yang tidak terlalu jelas penelusuran kekayaan atau harta seseorang sehingga mereka-mereka yang ketagihan korupsi, kolusi, nilep uang rakyat, suap-menyuap dan pencucian uang masih bisa melenggang kangkung melancarkan aksinya karena rekening-rekening siluman mudah dibuat, di sini kita ga bisa menutupi status finansial kita dari mata negara atau dinas pajak.

semua dipantau oleh komputer, tercatat, terekam, dari perputaran finansial kita sehari-hari sampai pemasukan-pemasukan keuangan tiap bulannya.
dari situ, bank jadi tahu kita termasuk pengambil kredit beresiko tinggi atau rendah.

bagi mereka yang beresiko tinggi, alias ada tendensi untuk tidak mampu bayar cicilan ke bank, ya bank juga tidak akan sebodoh itu mengucurkan kredit pemilikan rumah ke orang tersebut. tapi bagi mereka yang back-up keuangannya cukup kuat, alias bisnisnya lancar, atau pendapatan per bulannya cukup untuk menutup cicilan kalau skenario terburuk kejadian (misalnya properti keduanya tidak ada yang nyewa), maka bank juga tidak segan-segan mengucurkan dana untuk membeli properti lebih dari satu.

begitu kira-kira...

jadi pas suamiku akhirnya setuju untuk 'miara' apartemennya sebagai properti kedua kami, bank juga melakukan pengecekan lagi apakah kami berdua dianggap 'mampu' secara finansial dan berstatus resiko rendah untuk memiliki dua properti. akhirnya memang kami dianggap 'mampu' sehingga keinginan kami untuk tetap memiliki dua properti dikabulkan pihak bank. kalau ga ya, properti suami emang kudu dijual ;-p

jadi ga gampang juga kan kalau pengin jadi juragan properti? hehe

lalu misalnya kami pengin punya properti ketiga nih buat disewakan lagi, mungkinkah? kalau iya, gimana caranya?

aku pribadi sih penginnya bisa beli lagi satu properti kecil gituh buat tabunganku sendiri, karena suami sudah punya tabungan apartemen kan, sementara aku cuma punya rumah hasil cicilan patungan ini doank. boleh donk berambisi jadi juragan properti juga, kan mimpi itu ga bayar #halah

pertama-tama sih aku kudu punya tabungan dulu, buat bayar uang muka rumah ketiga kalau emang mau beli, dan seperti kita tahu, nabung tiap bulan itu ga mudah apalagi kalau hobi belanja kayak aku hehehe.

ini juga yang menjadi kendala utama kenapa banyak orang inggris sendiri yang masih kesulitan untuk mempunyai properti pertama. orang sini kan gaya hidupnya glamour, tiap akhir pekan pasti foya-foya, pesta, kalau ga selalu ke bar minum-minum yang notabene ga murah. jadi memang masih banyak yang jadi kontraktor juga karena sulit nabung buat bayar uang muka ;-p

lalu seperti sudah kutulis di atas, meski uang muka sudah ada-pun, bank masih harus ngecek lagi kemampuan finansial kita, apakah kalau properti kedua dan ketiga kosong tanpa ada penyewa, kami masih dihitung 'mampu' membayar cicilan bulanan untuk ketiga properti yang KPR-nya menjadi tanggung jawab kami itu? kalau bank bilang ga, ya aku juga ga bisa beli itu properti. begitu....

memiliki properti lebih dari satu juga masih ada kewajiban lain yaitu biaya perawatan atau pemeliharaan yang tentu saja menjadi tanggung jawab kita sebagai pemilik.

kalau properti tidak dirawat dengan baik dan selalu dalam kondisi prima, ya ga laku disewakan atuh, ga bakal ada yang berminat! itu juga menjadi beban finansial bulanan juragan properti. kalau bisa ringan tangan sendiri, alias jago nukang sih ga papa, bisa irit banyak, apa-apa kalau rusak dibenerin sendiri, ngecat dikerjain sendiri, benerin pipa sendiri. kalau ga bisa ya, kudu manggil ahlinya kan? yang notabene ga ada yang murah di sini ;-p

temanku sekantor yang jadi juragan properti setelah baru-baru ini beli rumah dia yang ke-empat, (istrinya ahli kandungan dan anak orang tajir jadi emang duitnya buanyakkkk, hehehe), dia sih jago nukang, jadi kalau ada penyewa properti dia yang lapor ada yang rusak, dia benerin sendiri tuh. kalau kejadianya di apartemen suamiku mah, pasti kami langsung panggil tukang servis hehehe.

trus gimana itu ceritanya yang imigran pada jadi juragan properti? koq bisa?

iya, aku tadinya juga heran pas dulu masih kuliah dan rata-rata pemilik properti yang kami sewa sebagai mahasiswa, kalau ga orang pakistan ya orang india. dari hasil omong-omong, rumah yang kami sewa itu dulu bisa jadi properti mereka yang nomer 8 atau 10 atau 15 gitu lho!

keren kan?

kalau melihat tampang pemiliknya sih ga bisa nyebut juga mereka itu orang kaya atau dandanannya mentereng. yang aku tau sih, biasanya mereka menjadikan sewa-menyewa properti sebagai pekerjaan utama mereka, tidak seperti aku dan suami yang masih kerja kantoran.

jadi kerjaan mereka tiap hari ya memang muter ngurus properti satu ke yang lainnya, memastikan semua baik-baik saja, tidak ada yang rusak, pipa tidak ada yang bocor, memastikan penyewa baik-baik saja dan bayar sewa bulanan dengan tertib. terus rata-rata juga mereka nyari lokasi properti di dekat universitas jadi selalu ada mahasiswa yang butuh kamar untuk disewa hingga properti-properti ini jarang yang kosong!

dan dengan strategi menyewakan propertinya per kamar ke para mahasiswa, para juragan properti ini bisa mengeruk keuntungan besar karena harga sewa total untuk semua kamar jika memang selalu penuh terus, akan jauh lebih besar daripada jumlah cicilan ke bank untuk harga KPR propertinya.

bisa sampai dua kali lipat atau lebih kadang-kadang.

tidak seperti suamiku yang malah kudu nombok sedikit tiap bulan untuk bayar cicilan apartemennya karena harga sewanya sedikit lebih rendah dari cicilan bank, para juragan properti untuk mahasiswa justru bisa hidup makmur hanya dengan mengurus sewa-menyewa kamar untuk mahasiswa tanpa punya pekerjaan lain karena ada selisih harga sewa vs besarnya cicilan yang jumlahnya lumayan itu tadi.

hebat yah....

secara finansial pastinya mereka juga kuat ya bisa sampai nyicil 10 properti sekaligus ke bank tiap bulannya. pastinya dengan menjadikan 'juragan properti' sebagai pekerjaan tetap mereka, bank juga berhasil diyakinkan sih kalau cicilan KPR mereka ga bakal beresiko tinggi karena profil bisnis mereka selalu lancar tidak pernah nunggak cicilan yang pastinya dibuktikan dengan aliran dana finansial tiap bulannya yang tidak pernah bermasalah, baik dari bayaran si penyewa maupun pengelolaan finansial si juragan properti itu sendiri :-)

bayangkan nanti sekitaran 10-15 tahun lagi kalau kesemua properti ini cicilan KPR-nya sudah lunas, apa ga jadi milyuner mendadak itu ya si bapak-bapak india dan pakistan tadi? hihihi....

padahal pastinya tadinya mereka datang ke inggris juga modal dengkul sih :-) tapi karena mereka bekerja ekstra keras dan berjuang untuk hidup yang lebih baik, bisa saja kan ya yang tadinya ga punya modal apa-apa mulai bisa beli properti pertama, kedua...dan akhirnya kesepuluh :-p

sekali lagi, memang tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau berusaha keras. bukti sudah cukup banyak.

(update: 5 nov 2013) salah satu contoh nyata, orang indonesia yang jadi juragan properti di inggris, silakan lihat websitenya di sini

jadi bagi para ekspatriat indonesia yang 'mengais' rejeki di luar negeri, kalau ada yang ingin memiliki rumah/properti sendiri, atau kalau ada yang berminat jadi juragan properti, why not? nothing is impossible!



.:kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga:.

5 comments:

  1. sangat menginspirasi mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. syukurlah kalau bisa menginspirasi :-) terima kasih sudah mampir...

      Delete
  2. Mending Beli atau Sewa, jawabannya tergantung. :)
    Ambil contoh, saya sempat tinggal di perumahan pemerintah, biaya sewa, anggaplah 250/bulan. Kalau nyicil rumah (spt rumahnya blogger :) ), anggaplah 1000/bulan. Anggaplah uang mukanya gede banget. Dari 1000, 400 buat angsuran, 600 buat bayar bunga. Dalam tempo 1 tahun, blogger bayar cicilan rumah 4800. Sedangkan kalau saya sewa, saya bisa nabung 9000. Setelah 10 tahun, blogger bayar cicilan 48000, saya nabung 90000.
    Hayo mending mana? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. huahahahhaa, pak kong bisa aja! mending mananya susah dijawab ah, karena pertanyaan selanjutnya adalah, nabungnya bisa disiplin ga? apa abis buat foya2 melulu hihihi...

      Delete
    2. 90000 dlm bentuk uang.. bloger bayar 48000 plus harga rumah jangan lupa bro..?? hayo besaran mana?

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...